} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

HUKUM POLIGAMI TANPA IZIN ISTERI YANG SUDAH ADA

Oleh :
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang melakukan poligami tanpa izin istrinya atau qadhi (KUA). Orang-orang ini menikah di luar negeri. Syarat perkawinan mereka cukup, tetapi istri pertama tidak setuju dan tidak dimintai izin dari qadhi setempat. Apakah pernikahan mereka sah? Apa jaminan dia bisa adil? 

Diterbitkan: Sabtu, 21 Januari 2023 12:33

POLIGAMI DIIZINKAN BAGI YANG MAMPU

1.  Poligami adalah ketentuan yang diberikan oleh syariat kepada laki-laki.

Dalam ketentuan tersebut, seorang laki-laki diperbolehkan untuk menikahi lebih dari satu wanita, namun tidak boleh melebihi empat orang. Poligami bukanlah kewajiban, melainkan izin yang diberikan oleh syariat. Setiap Muslim diharapkan meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang diturunkan oleh Allah SWT tidaklah untuk kepentingan-Nya yang agung, karena Dia Maha Suci dan tidak membutuhkan bantuan makhluk-Nya. Semua yang diturunkan-Nya adalah untuk kemaslahatan atau kepentingan hamba-hamba-Nya.
 
Kata al-Imam `Izz al-Din `Abd al-Salam (meninggal 660H): dalam Qawa`id al-Ahkam fi Masalih al-Anam: “Kita telah belajar dari sumber-sumber syaraq bahwa tujuan (aturan) syaraq adalah untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya dalam hal agama dan akhiratnya. Yang dimaksud dengan manfaat bukanlah masaqqah (kesulitan dalam menjalankan syariat), tetapi yang dimaksud adalah apa yang diperoleh dari masaqqah, sama halnya dengan seorang dokter yang menyuruh pasiennya meminum obat yang sangat pahit. Tujuannya hanya untuk menyembuhkan”. (Izz al-Din `Abd al-Salam, Qawa`id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, 1/29, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).

2. Kata Dr Yusuf al-Qaradawi: “Inilah yang diperingati Syariat Islam dalam soal poligami, telah menimbang segala pro dan kontra, segala manfaat dan mudharatnya, kemudian memperbolehkannya kepada siapa saja yang membutuhkan dan dikendalikan dengan syarat pelakunya percaya pada dirinya sendiri dia bisa menjaga keadilan dan tidak takut terjadi kezaliman dan berat sebelah. Firman Allah SWT dalam surat al-Nisa ayat 30: (artinya): “Jika takut tidak berlaku adil maka beristrilah satu saja.”. (Al-Qaradawi, Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiyyah, s 133-134. Mesir: Maktabah Wahbah)

3. Seorang suami yang tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami ketika memiliki satu istri sudah pasti lebih tidak mampu lagi jika ada tambahan istri. Jadi, suami seperti itu dilarang berpoligami karena hanya akan menimbulkan kezaliman.


WAJIB ADIL DARI SEGI ZAHIR

4. Keadilan merupakan syarat yang Allah letakkan atas bahu suami untuk adil antara isteri, kecuali jika ada isteri yang menarik haknya, seperti isteri Nabi ﷺ Saudah binti Zam’ah yang memberikan hak giliran harinya kepada ‘Aishah. Riwayat Aishah menyebut:

مَا رَأَيْتُ امْرَأَةً أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِسْلَاخِهَا مِنْ سَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ، مِنِ امْرَأَةٍ فِيهَا حِدَّةٌ، قَالَتْ: فَلَمَّا كَبِرَتْ، جَعَلَتْ يَوْمَهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَائِشَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، قَدْ جَعَلْتُ يَوْمِي مِنْكَ لِعَائِشَةَ، «فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقْسِمُ لِعَائِشَةَ يَوْمَيْنِ، يَوْمَهَا وَيَوْمَ سَوْدَةَ»

“Aku tidak dapati seorang wanita berkesungguhan yang paling aku suka menjadi sepertinya lebih daripada Saudah binti Zam’ah”. Apabila dia sudah tua dia berikan giliran harinya bersama Rasulullah ﷺ untuk ‘Aishah. Kata Saudah: “Wahai Rasulullah! Aku berikan giliranku bersamamu kepada ‘Aishah”. Maka Rasulullah ﷺ menjadikan untuk ‘Aishah dua hari; satu harinya sendiri dan satu lagi hari Saudah”. (Riwayat Muslim)

Jadi jika istri mencabut hak persamaan dalam pemberian harta atau pergantian hari, maka tidak mengapa jika suami tidak membaginya secara adil. Namun pencabutan hak tersebut harus atas pilihan istri, bukan karena terpaksa.


POLIGAMI BUKANLAH PENYEBAB KETIDAKADILAN

5. Dalam banyak kasus kelalaian dan kedzaliman dalam rumah tangga, penyebab utama bukanlah merupakan faktor poligami, akan tetapi faktor sikap suami itu sendiri. Kata Dr. Wahbah al-Zuhaili: “Bukan poligami yang menyebabkan anak terlantar seperti yang diklaimnya. Di sisi lain disebabkan oleh ayah yang mengabaikan pendidikan anak, mabuk-mabukan, kecanduan narkoba, tenggelam dalam nafsu, berjudi, bolak-balik ke warung kopi, mengabaikan keluarga dan lain-lain.”. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 7/173, Beirut: Dar al-Fikr)

6. Kelalaian terhadap istri bersumber dari sikap, bukan dari poligami. Makanya kita lihat banyak suami yang monogami tapi masih menganiaya istri dan anaknya. Jika dia berpoligami maka keadaannya lebih buruk. Pria kejam seperti itu dilarang berpoligami.


SALAH FAHAM AYAT AL-QUR'AN

Ada sesetengah pihak menafsirkan ayat Allah dalam Surah al-Nisa’ ayat 129:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

(maksudnya) “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri kamu sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya).

Kata mereka ayat ini membatalkan apa yang disebut dalam ayat 3 dalam surah yang sama :

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

(maksudnya): “Jika kamu takut tidak berlaku adil maka beristri satu saja”.

Bahkan, klaim ini secara tidak langsung seperti tuduhan terhadap Nabi ﷺ, para sahabatnya dan generasi ulama Islam sejak dulu seolah-olah mereka semua tidak memahami Al-Qur'an sehingga mengharuskan poligami bagi diri mereka sendiri dan umat.


HANYA KEADILAN LAHIRIAH YANG DITUNTUT

8. Sebenarnya, ayat 129 Surah al-Nisa’ itu membicarakan tentang keadilan mutlak yang tidak mungkin dapat diberikan oleh insan. Keadilan mutlak membabitkan semua aspek; perasaan kasih sayang yang ada di dalam perasaan, cara hubungan seks dan segalanya. Ini semua bukan dalam batas kemampuan insan. Bahkan insan tidak mampu menjadikan kadar kasih sayangnya terhadap anak-anaknya sama, demikian jugalah terhadap isteri-isterinya. Bagi anak yang lebih manja dan pandai mengambil hatinya tentu perasaan cintanya lebih. Demikian juga isteri. Apakah kerana ada rasa sayang yang terlebih pada mana-mana anak maka ibubapa berdosa padahal dari segi pengurusan zahir terhadap anak-anak mereka telah berlaku adil?! Tidak!!

9. Maka, apa yang dituntut oleh Islam ialah keadilan dari segi akhlak pergaulan dan sikap,  dan dari segi kebendaan. itu semua hendaklah dalam neraca keadilan dan kesaksamaan kerana itu dalam batas kemampuan insan. Tidak boleh dijadikan perasaan cinta di dalam jantung hati membawa kepada ketidakadilan dalam tindakan. Oleh itu sambungan ayat itu menyebut:

فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

(maksudnya) oleh itu janganlah kamu cenderung dengan melampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung (di awan-awan); dan jika kamu memperbaiki (keadaan yang pincang itu), dan memelihara diri (daripada perbuatan yang zalim), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.

Nabi ﷺ menyebut dalam hadis:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ. قَالَ أَبو دَاود يَعْنِي الْقَلْبَ

Daripada `Aisyah R.A: Bahawa Nabi ﷺ membahagikan hak di antara isteri baginda dengan adil. Baginda bersabda: Ya Allah inilah pembahagianku apa yang miliki, jangan Engkau salahku dalam apa yang aku tidak miliki. Kata Abu Daud  -ketika meriwayat hadis ini – (maksud apa yang aku tidak miliki) ialah jantung hati. (Riwayat al-Nasai, Abu Daud, al-Tirmizi dan Ibn Majah. Al-Hakim mensahihkannya dalam Al-Mustadrak)

Maksudnya cinta dan kecenderungan jantung hati tidak mampu dimiliki dan ditentukan keadilan pembahagiannya.

11. Maka kecenderungan hati yang menimbulkan ketidaksamaan dalam cinta tidak dianggap salah di sisi Allah selama ketidakadilan itu tidak diwujudkan dalam tindakan. Inilah arti dari ayat tersebut. Al-Imam al-Qurtubi (wafat 671H) ketika menafsirkan surat al-Nisa ayat 129 mengatakan: “Dalam ayat tersebut, Allah menceritakan tentang ketidakmampuan berlaku adil antara istri-istri dalam kecenderungan fitrah seperti cinta, seks dan perasaan dalam hati. Maka Allah menggambarkan manusia yang pada hakikatnya tidak dapat mengendalikan kecenderungan hatinya terhadap sesuatu atau sebaliknya... maka Allah melarang manusia dengan firman-Nya: (maksudnya) "jangan condong dengan berlebihan" yaitu jangan kamu sengaja menyakiti, sebaliknya hendak sama rata dalam pembagian dan nafkah, karena ini adalah sesuatu yang bisa dilakukan". (Al-Qurtubi , Al-Jami li Ahkam al-Quran 5/407. Beirut: Dar al-Fikr).


IZIN ISTRI PERTAMA?

12. Adapun pandangan yang mensyaratkan izin istri pertama atau qadhi atau mahkamah syariah bagi siapa saja yang ingin berpoligami adalah sesuatu yang bersifat administratif tetapi bukan syarat sahnya perkawinan. Artinya, secara syariah perkawinan itu sah jika perkawinan itu rukun meskipun tanpa izin kadi. Salah jika pemerintah mencegah atau menindak pelaku poligami atas dasar emosional tanpa alasan yang kuat dalam kitab suci padahal Allah dan Rasul-Nya jelas mengizinkannya.

13. Oleh karena itu, banyak ulama kontemporer yang keberatan dengan syarat poligami atas izin qadhi. Masalah keadilan suami merupakan hal yang tidak dapat dinilai sebelum perkawinan dilangsungkan. Bagaimana mungkin seorang qadhi atau suatu pihak bisa mengklaim kalau dia punya dua istri itu tidak adil? Bagaimana seseorang dapat memutuskan yang lain jika dia memiliki dua istri? Bahkan ada orang yang menganggap dirinya adil tapi ternyata sebaliknya.


JIKA SUAMI ADA CATATAN TIDAK MAMPU 

14. Jika suami memiliki catatan tidak mampu menafkahi dirinya sendiri, lalai atau kejam terhadap istri yang ada, maka tindakan harus diambil dari awal daripada menunggu poligami. Qadhi harus memberi ruang bagi istri untuk menuntut fasakh dan menghukum kelalaian atau kekejaman suami. 

Mempersulit istri untuk melakukan fasakh merupakan penyebab berlanjutnya kezaliman rumah tangga, baik dalam kasus monogami maupun poligami. Sayangnya inilah yang terjadi di birokrasi beberapa pengadilan syariah. Urusan fasakh dan tebusan cerai diperumit hingga nyawa istri diperas, tiba-tiba poligami disalahkan.

TIDAK BOLEH HALANGI POLIGAMI TANPA ALASAN YANG SYAR'I

15. Sikap adil atau bertanggung jawab terhadap istri tidak hanya berlaku bagi pelaku poligami tetapi juga pelaku monogami. Jika hak izin poligami diberikan secara luas kepada qadhi, maka nantinya yang ingin menikah juga akan dinilai oleh qadhi apakah dia bisa bertanggungjawab atau tidak. Lalu nanti yang mau nambah anak atau punya anak juga dinilai mampu atau tidak? Lupakah kita, sikap banyak orang berubah menjadi lebih cemerlang setelah menikah, atau rejeki mereka bertambah setelah jumlah anak bertambah.

16. Sebab itulah Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah (Islamic Research Assembly) pada muktamarnya yang kedua di Kairo tahun 1975 membuat keputusan seperti berikut: “Adapun berhubung dengan poligami, maka pihak muktamar memutuskan bahawa ia adalah harus dengan jelasnya berdasarkan nas-nas al-Quran al-Karim juga dengan syarat-syarat yang berkaitan dengannya. Adapun penggunaan hak ini adalah terpulang kepada pihak suami, ia tidak memerlukan keizinan qadhi”.

17. Abd al-Karim Zaidan menyebut di dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam al-Marah: “Aku melihat tidak harus dari segi syarak memberikan kelayakan berpoligami ditentukan Qadhi, atau mengaitkan keharusan berpoligami dengan izin qadhi.” Kata beliau juga: “Antara bukti yang mendukung keputusan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyyah di atas ialah tidak pernah disebutkan kepada kita pada mana-mana zaman Islam, sejak Rasulullah ﷺ sehingga ke zaman selepasnya bahawa sesiapa daripada kalangan fuqaha (ulama feqah) mensyaratkan keizinan qadhi untuk sesiapa yang ingin berpoligami. Kalaulah syarat ini disyariatkan maka sudah tentu kitab-kitab fekah dan kehakiman menyebut berlakunya atau anjuran mengenainya. Apabila ia tidak menyebut hal ini sedikit pun, maka inilah dalil yang tegas terhadap ijma’ sukuti (ijmak secara diam) mengenai tidak dikaitkan keharusan berpoligami dengan keizinan qadhi. Maka anjuran untuk itu sekarang ini adalah memecahkan ijmak” (‘Abd al-Karim Zaidan, Al-Mufassal fi Ahkam al-Marah المفصل في أحكام المرأة, 6/294, cetakan Muassasah al-Risalah, Beirut).

18. Dr. Wahbah al-Zuhaili juga keberatan dengan pandangan yang mensyaratkan izin qadhi ini dengan memberikan sebagian dalilnya dalam al-Fiqh al-Islami. Silakan merujuk bagi yang menginginkan detailnya dengan judul على الدعوة على جاعل تعليقة الجزوت بذن القاضي (Ajakan Izin Poligami Dengan Izn Qadhi). Di antara tokoh lainnya adalah Dr. Muhammad `Uqlah dalam bukunya Nizam al-Usrah fi Al-Islam yang menganggap syarat izin kadi sebagai bid'ah dan bisa mengarah pada zina.

Ini Sepatutnya...

19. Jika ternyata suami tidak adil, maka istri dapat mengajukan perkara tersebut kepada qadhi dan dapat menuntut fasakh. Perjuangan hak istri tidak hanya dalam hal poligami tetapi harus secara komprehensif tentang kezaliman suami dan ruang bagi perempuan untuk membangun kehidupan baru dengan memudahkan perempuan lepas dari kezaliman suami dengan cara menyederhanakan dan mempercepat perkara talak, fasakh, khulu', tafriq dan sejenisnya.

https://muftiperlis.gov.my/index.php/minda-mufti/741-hukum-poligami-tanpa-izin-isteri


Link bermanfaat terkait : 

https://khazanahfiqh.blogspot.com/2023/10/poligami-dalam-islam.html

https://khazanahfiqh.blogspot.com/2022/12/poligami-derita-atau-bahagia.html

https://khazanahfiqh.blogspot.com/2022/12/kumpulan-soalan.html

 

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING