} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

77 KAIDAH FIQIH LENGKAP

Berikut 77 Kaidah Fiqih Lengkap, baik Kaidah Fiqih induk (Al-Qawaid Al-Asasiyah) maupun cabang / turunannya. Secara kuantitatif, Kaidah Fiqih jumlahnya masih diperselisihkan oleh para ulama.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa Kaidah Fiqih induk ini ada lima proposisi:

  1. اَلْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا (Setiap perkara itu sesuai dengan maksudnya), 
  2. اَلْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَكِّ (Kepastian / keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). 
  3. اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرَ (Kesukaran membawa / mengharuskan adanya kemudahan), 
  4. اَلضَّرَرُ يُزَالُ (Kerusakan (kemudharatan) dihilangkan), dan 
  5. اَلْعَادَةُ مُحَـكَّمَةٌ (Adat / kebiasaan bisa dijadikan sumber hukum). 

Begitu juga kaidah Fiqih cabang, ada yang disepakati oleh mayoritas ulama, ada juga yang yang diperselisihkan.

  1. اَلْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا Setiap perkara itu sesuai dengan maksudnya.

  2. مَا لَا يُشْتَرَطُ لَهُ التَعَرَّضُ جُمْلَةً وَتَفْصِيْلًا اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَاءَ لَمْ يَضُرَّ Sesuatu yang tidak disyaratkan menentukannya secara keseluruhan dan detail / terperinci, apabila salah dalam menunjukkan / menentukannya, kesalahan itu tidak merugikan (tidak berbahaya, tidak berpengaruh).

  3. مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَعْيِـيْن ُفَالْخَطَاءُ فِيْهِ مُبْطِلٌ Sesuatu yang di dalamnya disyaratkan menentukan secara detail / spesifik (ta’yin), maka kesalahan dalam menentukannya akan membatalkan (batal demi hukum)

  4. مَا يُشْتَرَطُ التَعَرُّضُ جُمْلَةً لَا تَفْصِيْلًا اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَاءَ ضَرَّ Sesuatu yang diharuskan / disyaratkan menentukannya secara lengkap – tidak secara rinci – maka jika ditentukan dan salah dalam menentukannya akan berbahaya.

  5. مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِـيَّـةِ الْلَافِظِ Tujuan lafal tergantung pada maksud pengucapannya / niat orang yang mengucapkannya.

  6. اَلْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَكِّ Kepastian / keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

  7. اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ Yang menjadi patokan adalah tetapnya sesuatu menurut keadaan semula. 

  8. اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ Menurut asalnya setiap orang itu bebas dari kewajiban / tanggungan. 

  9. مَنْ شَكَّ أَفَعَلَ شَيْأً اَمْ لَا فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ (مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَ شَكَّ فِيْ القَلِيْلِ اَوِالْكَثِيْرِحُمِلَ عَلَى الْقَلِيْلِ) Jika seseorang ragu apakah dia sudah melakukan sesuatu atau tidak, prinsip dasarnya adalah da dianggap belum melakukannya. (Seseorang yag yakin telah melakukan pekerjaan namun ragu-ragu tentang sedikit banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah yang sedikit).

  10. اَلْأَصْلُ اَلْعَدَمُ Asal (dari segala hukum) adalah ketiadaan (tidak adanya suatu beban).

  11. اَلْأَصْلُ فِيْ كُلِّ حَادِثٍ اَنْ يُقَدَّرَ بِاَقْرَبِ الزَّمَانِ Pada dasarnya penetapan suatu peristiwa didasarkan / diperkirakan pada waktu yang terdekat (dengan peristiwa tersebut).

  12. اَلْأَصْلُ فِي الْاَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةْ حَتَّى يَدُلُّ اَلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ Asal dari segala seuatu adalah boleh, sampai ada bukti / petunjuk (dalil) yang menyatakan / menunjukkan bahwa itu adalah haram.

  13. اَلْأَصْلُ فِي الْاَبْضَاعِ اَلْحَظْرُ/ اَلتَّحْرِيْمُ Hukum asal farji adalah larangan / haram.

  14. اَلْأَصْلُ فِي اْلكَلَامِ اَلْحَقِيْقَةِ Asal dalam ucapan / perkataan adalah yang benar (hakiki).

  15. اَلْأَصْلُ فِي الْأُمُوْرِ الْعَارِضَةِ اَلْعَدَمُ Asalnya dalam setiap asalah / perkara yang datang kemudian adalah tidak ada.

  16. اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرَ Kesukaran membawa / mengharuskan adanya kemudahan.

  17. اِذَا ضَاقَ الْاَمْرُ اِتَّسَعَ Jika suatu masalah / perkara itu sempit, maka (hukum) menjadi longgar.

  18. اِذَا اِتَّسَعَ الْاَمْرُ ضَاقَ Jika suatu masalah / perkara itu longgar, maka (hukum) menjadi sempit.

  19. اَلضَّرَرُ يُزَالُ Kerusakan (kemudharatan) dihilangkan.

  20. اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang.

  21. مَا اُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِضَرَرِهَا (مَاجَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ) Sesuatu yang dibolehkan karena darurat, disesuaikan dengan kadar kedaruratannya. 
  22. اَلضَّرَرُ لَايُزَالُ بِالضَّرَرِ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang lain (yang setingkat).

  23. إِذَا تَعَارَضَ اَلْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِاِرْتِكَابِ اَخَفِّهِمَا Jika dua kerusakan saling bertentangan / berlawanan, maka sembunyikan yang lebih berat kemudharatannya dengan melaksanakan yang lebih ringan (madharatnya).

  24. دَرْءُ الْمَفَاسِدِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ Mencegah kejahatan / kerusakan (mafsadah) lebih didahulukan daripada mewujudkan kemaslahatan.

  25. اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَةً كَانَتْ اَوْ خَاصَةً Kebutuhan itu menempati tempatnya darurat, baik kebutuhan umum maupun khusus.

  26. اَلْعَادَةُ مُحَـكَّمَةٌ Adat / kebiasaan bisa dijadikan sumber hukum.

  27. اَلْإِجْتِهَادُ لَايُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَادِ Suatu ijtihad tidak dirusak oleh ijtihad yang lain 
  28. اِذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِبَ الْحَرَامُ Apabila halal dan haram berkumpul, maka dimenangkan yang haram.

  29. اِذَا اجْتَمَعَ فِى الْعِبَادَةِ جَانِبُ اْلحَضَرِ وَجَانِبُ السَّفَرِ غُلِبَ جَانِبُ الْحَضَرِ Apabila dalam hal ibadah berkumpul unsur hadlor (mukim) dan unsur safar (berpergian), maka dimenangkan unsur hadlor.

  30. اِذَا تَعَارَضَ اَلْمَانِعُ وَالْمُقْتَضِى غُلِبَ اَلْمَانِعُ Apabila terjadi pertentangan antara mani’ (penghalang) dan muktadi (yang ditetapkan), maka dimenangkan mani’. 

  31. اَلْإِيْثَارُ فِى اْلقُرَبِ مَكْرُوْهٌ وَفِىْ غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ Mendahululkan orang lain dalam hal ibadah itu dimakruhkan, sedangkan dalam hal selain ibadah itu disunahkan. 

  32. اَلتَّابِعُ تَابِعٌ Pengikut itu mengikuti yang diikuti. 

  33. اَلتَّابِعُ لَا يُفْرَدُ بِالْحُكْمِ Pengikut itu tidak dihukumi secara tersendiri (dari yang diikuti).

  34. اَلتَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ Pengikut gugur disebabkan gugurnya yang diikuti. 

  35. اَلْفَرْعُ يَسْقُطُ اِذَا سَقَطَ اَلْأَصْلُ Cabang gugur apabila induknya gugur. 

  36. اَلتَّابِعُ لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ Pengikut tidak boleh mendahului yang diikuti. 

  37. يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِىْ غَيْرِهَا Dimaafkan dalam perkara yang mengikuti, sesuatu yang tidak dimaafkan dalam perkara lain. 

  38. يُغْتَفَرُ فِى الشَّيْئِ ضَمْنًا مَالَايُغْتَفَرُ فِيْهِ قَصْدًا Sesuatu yang dimaafkan karena ikut-ikutan tidak dapat dimaafkan karena ada kesengajaan. 

  39. يُغْتَفَرُ فِى الثَّوَانِى مَالَايُغْتَفَرُ فِى الْأَوَائِلِ Dapat dimaafkan (dima’fu) bagi yang menirukan, tapi tidak dapat dimaafkan bagi yang memulainya.

  40. تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ لِلرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan. 

  41. اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ Hukuman (had) gugur apabila masih meragukan. 

  42. اَلشُّبْهَةُ تَسْقُطُ اَلْحُدَّ Kesyubhatan menggugurkan hukuman had 

  43. اَلشُّبْهَةُ لَاتَسْقُطُ اَلتَّعْزِيْرَ وَتَسْقُطُ اَلْكَفَارَةَ Kesyubhatan tidak menggugurkan ta’zir, tapi menggugurkan kafarah. 

  44. اَلْحُرُّ لَا يَدْخُلُ تَحْتَ الْيَدِ Orang yang merdeka tidak masuk dalam belenggu kekuasaan.

  45. اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ Yang menjaga sesuatu, hukumnya sama dengan apa yang dijaga.

  46. اِذَا اجْتَمَعَ اَلْأَمْرَانِ فِىْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُوْدُهُمَا دَخَلَ اَحَدُهُمَا فِى اْلأَخَرِ غَالِبًا Apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu dimasukkan pada yang lain menurut kebiasaannya.

  47. اِعْمَالُ الْكَلَامِ اَوْلَى مِنْ اِهْمَالِهِ Penggunaan kalimat lebih diutamakan dari pengabaiannya.

  48.  اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ Adanya keharusan dalam mengganti kerugian, membuat seseorang berhak mendapatkan hasilnya.

  49. اَلْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ Keluar dari pertentangan itu diutamakan.

  50. اَلدَّفْعُ اَقْوَى مِنَ الرَّفْعِ Menolak gugutan lebih baik daripada menghilangkan.

  51. اَلرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِى Keringanan-keringanan tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.

  52. اَلرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالشَّكِّ Keringanan tidak dikaitkan dengan keraguan.

  53. اَلرِّضَا بِالشَّيْئِ رِضَا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ (اَلْمُتَوَلَّدُ مِنْ مَأْذُوْنٍ فِيْهِ لَا أَ ثَرَ لَهُ) Rela akan sesuatu, berarti rela pula akan konsekuensi yang ditimbulkan. (Hal-hal yang muncul dari sesuatu yang sudah mendapatkan rekomendasi, tidak dapat menimbulkan dampak apapun.) 

  54. اَلسُّؤَالُ مُعَادٌ بِالْجَوَابِ Pertanyaan itu diulangai dalam jawaban.

  55. لَا يُـنْـسَبُ اِلَى سَـاكِـتٍ قَوْلٌ وَلَكِنْ اَلسُّكُوْتُ فِيْ مُعْرَضِ الْحَاجَةِ اِلىَ الْبَـيَانِ بَـيَانٌ Suatu perkataan tidak dapat disandarkan pada orang yang diam, akan tetapi jika diam pada tempat yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan.

  56. مَا كَانَ اَكْثَرُ فِعْلًا كَانَ اَكْثَرُ فَضْلًا Apa saja yang lebih banyak pekerjaanya, berarti lebih banyak pula keutamaannya.

  57. اَلْمُتَعَدِّى اَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama daripada yang hanya sebatas kepentingan sendiri.

  58. اَلْفَرْضُ اَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ Fardhu itu lebih utama daripada sunnah.

  59. اَلْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ اْلعِبَادَةِ اَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةُ بِمَكَانِهَا اَوْزَمَانِهَا Keutamaan yang dikaitkan dengan esensi ibadah lebih baik daripada dikaitkan dengan tempatnya.

  60. وَاجِبُ لَا يُتْرَكُ إِلَّا لِوَاجِبٍ (اَلْوَاجِبُ لَايُتْرَكُ لِلسُّنَّةِ / مَالَابُدَّ مِنْهُ لَايُتْرَكُ اِلَّا لِمَا لَابُدَّمِنْهُ / مَالَوْ لَمْ يُشْرَعْ لَمْ يَجُزْ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْبِهِ / مَا كَانَ مَمْنُوْعًا اِذَا جَازَ وَجَبَ) Sesutau yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan yang wajib pula/sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan dengan melakukan yang sunnah/sesuatu yang pasti tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan melakukan yang pasti pula/semua yang dilarang apabila diperbolehkan maka menjadi wajib.

  61. مَا اَوْجَبَ اَعْظَمَ الْأَمْرَيْنِ بِخُصُوْصِهِ لَايُوْجِبُ دُوْنَهُمَا بِعُمُوْمِهِ Apabila yang mewajibkan yang lebih besar dari dua perkara karena keputusannya, maka tidaklah diwajibkan yang lebih ringan dari keduanya karena keumumannya.

  62. مَا ثَبَتَ بِالشَّرْعِ مُقَدَّمٌ عَلَى مَا ثَبَتَ بِالشَّرْطِ Apa yang ditetapkan menurut syara’ lebih didahulukan daripada yang ditetapkan menurut syarat.

  63. مَاحَرُمَ اِسْتِعْمَالُهُ حَرُمَ اِتِّخَاذُهُ Apa saja yang penggunaanya diharamkan, berarti diharamkan pula memperolehnya.

  64. مَاحَرُمَ فِعْلُهُ حَرُمَ طَلْبُهُ (مَاحَرُمَ أَخْذَهُ حَرُمَ إِعْطَاؤُهُ Apa saja yang diharamkan melakukannya, berarti diharamkan pula mencarinya (apa yang haram mengambilnya, maka haram pula memberikannya).

  65. اَلْمَشْغُوْلُ لَا يُشْغَلُ Sesuatu yang telah dijadikan objek tertentu maka tidak boleh dijadikan objek yang lain.

  66. اَلْمُكَبِّرُ لَايُكَبِّرُ Yang sudah diperbesar tidak boleh diperbesar.

  67. مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ Barang siapa yang tergesa-gesa terhadap sesuatu yang belum tiba waktunya, maka harus menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu itu.

  68. اَلنَّفْلُ اَوْسَعُ مِنَ الْفَرْضِ Ibadah sunnah lebih luas daripada ibadah fadlu.

  69. اَلْوِلَايَةُ اَلْخَاصَّةُ اَقْوَى مِنَ اْلوِلَايَةِ اَلْعَامَّةِ Kekuasaan khusus lebih kuat daripada kekuasaan umum.

  70. لَا عِبْرَةَ بِالظَّنِّ اَلْبَـيـِّنِ خَطَأُهُ Tidak dapat diperhitungkan sesuatu yang didasarkan kepada perkiraan yang jelas salahnya.

  71. اَلْإِسْتِغَالُ بِغَيْرِ الْمَقْصُوْدِ اِعْرَاضٌ عَنِ الْمَقْصُوْدِ Berbuat yang tidak dimaksud berarti berpaling dari yang dimaksud.

  72. لَا يُنْكِرُ اَلْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَاِنَّمَا يُنْكِرُ اَلْمُجْمَعُ عَلَيْهِ Hal-hal yang diperselisihkan itu tidak bisa diingkari, yang wajib diingkari adalah hal-hal yang sudah disepakati.

  73. يَدْخُلُ اَلْقَوِيُّ عَلَى الضَّعِيْفِ وَلَاعَكْسَ Yang kuat mencakup yang lemah, tapi tidak sebaliknya.

  74. يُغْتَفَرُ فِى اْلوَسَائِلِ مَالَا يُغْتَفَرُ فِى الْمَقَاصِدِ Dapat dimaafkan karena sebagai sarana, namun tidak dapat dimaafkan kepada maksud yang dituju.

  75. اَلْمَيْسُوْرُ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ Sesuatu perbuatan yang mudah dijalankan tidak dapat digugurkan dengan perbuatan yang sukar dijalankan.

  76. مَالَايَقْبَلُ اَلتَّبْعِيْضُ فَاخْتِيَارُبَعْضِهِ كَاخْتِيَارُ كُلِّهِ وَإِسْقَاطُ بَعْضِهِ كَإِسْقَاطِ كُلِّهِ Sesuatu yang tidak dapat dibagi maka mengusahakan sebagian hukumnya sama dengan mengusahakan keseluruhan, demikian juga menghukum sebagian berarti menggugurkan pula keseluruhannya.

  77. اِذَا اجْتَمَعَ اَلْسَبَبُ اَوِالْغُرُوْرُ وَالْمُبَاشَرَةُ قُدِّمَ اَلْمُبَاشَرَةُ Apabila antara sebab, tipuan, maupun pelaksanaan langsung berkumpul maka didahulukan pelaksanaan langsung itu Lihat pembahasan Kaidah Fiqih didalam kategori Kaidah Fiqih.

Sumber referensi: https://ushulfiqih.com/kaidah-fiqih-lengkap

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING