} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

PERANAN KAEDAH MURA‘AH AL-KHILAF TERHADAP PENYERAGAMAN FATWA

The Role Of Mura'Ah Al-Khilaf Method On The Standardisation Of Fatwa In The Department Of The State Mufti Of Perlis

ABSTRAK

Konsep fatwa dan ijtihad memungkinkan setiap orang untuk mengeluarkan ijtihad. Hal ini didukung oleh metode fiqh, di mana 'ijtihad tidak dapat membatalkan ijtihad lain'. Ini memiliki dampak yang signifikan karena ketika banyak pihak mengeluarkan fatwa, akan ada banyak fatwa yang berbeda tentang masalah yang sama yang dapat mengakibatkan munculnya fatwa yang tidak sesuai dengan syariah, berbahaya, dan salah arah, yang dapat mengganggu harmoni dalam masyarakat. Oleh karena itu, studi ini ingin mengusulkan pendekatan yang dikenal sebagai metode mura‘ah al-khilaf, dalam menyelesaikan fatwa yang dikeluarkan oleh berbagai pihak, terutama di negara bagian Perlis, melalui peran Departemen Mufti Negara Bagian Perlis. Metodologi penelitian ini bersifat kualitatif, di mana data dikumpulkan melalui penelitian perpustakaan dan studi lapangan. Penelitian perpustakaan dilakukan dengan memeriksa buku, artikel, peraturan, dan surat edaran terkait. Dari segi praktis, studi lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara tidak terstruktur dengan dua responden dari Departemen Mufti Negara Bagian Perlis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode mura‘ah al-khilaf memiliki peran yang signifikan dalam mendukung peran departemen mufti sebagai acuan utama oleh semua badan pemerintah negara dan masyarakat dalam masalah fatwa dan agama Islam. Hasil penelitian juga menemukan bahwa departemen mufti memiliki komposisi komite fatwa dan metode penerbitan fatwa yang kuat. Temuan mengungkapkan bahwa ada kontrol hukum atas penerbitan fatwa dan pedoman agama, yang tidak boleh disalahgunakan oleh pihak manapun.

Kata kunci: Fatwa, Standarisasi, Departemen Mufti Perlis, Mura‘ah Al-Khilaf, Praktik Keagamaan

Note : Artikel di bawah ini Telah ditranslate dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia. Transkrip asli bisa merujuk PDF di atas. Semoga bermanfaat.

PENDAHULUAN

Berdasarkan konsep ijtihad dan fatwa, seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad atau mengeluarkan fatwa apabila ia memiliki kelayakan tertentu seperti memahami rukun-rukun istinbat dalam hukum syarak. Konsep umum ini membenarkan banyak pihak untuk melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa. Namun, terdapat pula kaedah fiqh yang menyatakan "ijtihad tidak boleh membatalkan ijtihad yang lain", yang menyebabkan sebagian orang mengeluarkan fatwa sendiri tanpa perlu taklid atau mengikuti fatwa dari pihak lain. Hal ini dapat menimbulkan masalah dan kebingungan besar karena tidak semua orang mampu mengeluarkan fatwa yang tepat melalui sumber-sumber syarak yang sahih. Oleh karena itu, hal ini dapat menyebabkan munculnya fatwa yang bertentangan satu sama lain dan menghasilkan fatwa yang tidak tepat atau syaz dari sudut syarak.

Berdasarkan permasalahan tersebut, pihak pemerintah di Negeri Perlis telah membentuk Jabatan Mufti Negeri Perlis yang bertanggung jawab penuh dalam menjaga hal ehwal fatwa. Hal ini sesuai dengan undang-undang yang menyatakan bahwa hal ehwal agama Islam diuruskan oleh negeri melalui Majlis Agama Islam Negeri. Oleh karena itu, dari sudut pandang syarak, timbul pertanyaan apakah individu yang dianggap berkelayakan untuk mengeluarkan fatwa dapat mengikuti atau menghormati fatwa yang dikeluarkan oleh Jabatan Mufti Negeri Perlis? Permasalahan dan pertanyaan ini akan dibahas dalam artikel ini.

SOROTAN KAJIAN

KONSEP FATWA DAN IJTIHAD DALAM USUL AL-FIQH

Ilmu Usul al-Fiqh adalah inti utama dalam metode berfatwa yang menjadi persyaratan utama bagi seseorang untuk menjadi mufti yang berkualifikasi. Fatwa adalah pandangan atau keputusan yang dibuat oleh seorang mujtahid atau sekelompok mujtahid mengenai suatu hukum syariah, baik itu pandangan pribadi atau yang dikeluarkan atas permintaan orang lain. Keakuratan fatwa sangat tergantung pada metode argumentasi yang digunakan dan kesesuaiannya dengan maqasid al-syariah. Menurut beberapa ulama seperti al-Ghazali, al-Syirazi, al-Amidi, Ibnu Qayyim, dan al-Syaukani, mufti adalah mujtahid yaitu orang yang mampu melakukan ijtihad dan istinbat hukum. Mufti dan mujtahid pada dasarnya sama, tetapi bedanya terletak pada sumber pertanyaan yang diberikan, di mana fatwa dikeluarkan untuk menjawab suatu pertanyaan atau masalah yang sudah terjadi, sedangkan ijtihad tidak terikat dengan syarat tersebut.

Namun demikian, mufti juga dapat bertindak secara proaktif dalam menangani suatu masalah dengan mengarahkan penelitian hukum tertentu meskipun tidak ada permintaan fatwa sebagai persiapan. Oleh karena itu, sebagian ulama tidak membedakan antara fungsi mufti dan mujtahid karena keduanya mampu mengeluarkan hukum, baik itu karena ada pertanyaan atau tidak. Sedangkan ijtihad adalah usaha seorang mujtahid untuk memahami hukum syariah dengan maksimal melalui pengambilan dalil yang tepat. Ini adalah upaya yang akhirnya menghasilkan keputusan atau fatwa. Fatwa merupakan hasil dari ijtihad.

Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid kadang-kadang sama dengan pandangan mujtahid yang lain, dan kadang-kadang berbeda. Hal ini karena fatwa merupakan hasil dari pemikiran seorang mujtahid yang tidak terpengaruh oleh mujtahid lain. Oleh karena itu, ijtihad seorang mujtahid tidak dapat dibatalkan oleh mujtahid lain.


MENGHORMATI PERSELISIHAN DALAM PEMBERIAN FATWA

Konsep keterbukaan ijtihad dan fatwa di kalangan mujtahid memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, para fuqaha' seharusnya bersikap terbuka dan menghormati pendapat mujtahid lain yang dikeluarkan setelah usaha yang sungguh-sungguh dilakukan. Menurut fuqaha' Mazhab Maliki, adab atau kaedah meraikan perselisihan (mura'ah al-khilaf) ini sebagai penghormatan terhadap pendapat mujtahid yang lain.

Perkataan mura'ah al-khilaf berasal dari dua kata yaitu "al-mura'ah" dan "al-khilaf". Al-mura'ah dalam bahasa artinya memelihara dan bersifat bersahabat, sementara al-khilaf artinya tidak adanya kesepakatan atau persetujuan, dan berselisih tentang suatu masalah. Dalam istilahnya, al-khilaf berarti tidak adanya kesepakatan pandangan dalam kalangan orang yang berilmu terhadap suatu isu, di mana setiap orang berpegang pada pandangan masing-masing.

Mura'ah al-khilaf dalam istilah memiliki beberapa makna dan pelaksanaan. Ada yang mendefinisikannya sebagai mengutamakan hujah dan pendapat mujtahid lain daripada hujah dan pendapatnya sendiri. Ada pula yang mendefinisikannya sebagai memberikan setiap satu dari dalil-dalil hukumnya serta mengutamakan pendapat yang berselisih. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu pandangan yang dikeluarkan dipengaruhi oleh kekuatan dalil yang dipegang, kesesuaiannya dengan isu, dan ketepatan dengan keadaan saat itu. Oleh karena itu, pandangan dari mujtahid lain perlu diambil kira.

Penghormatan terhadap perbedaan ini dilakukan karena fatwa atau pendapat mujtahid yang berbeda dipandang lebih kuat dari segi dalil dan maslahahnya.

Selanjutnya, al-Syatibi (1997) menjelaskan "mura'ah al-khilaf" sebagai kondisi di mana sebelum adanya perbedaan pendapat, seorang mujtahid tetap berpegang pada pandangannya. Namun setelah terjadi perbedaan pendapat, ternyata pandangannya dianggap lemah (marjuh) untuk dipertahankan, sehingga diperlukan untuk merenungkan pandangan yang lain untuk menghindari kerusakan. Dalam hal ini, perlu menempatkan argumen yang berlawanan untuk menghindari dampak negatif (al-Syatibi, 1997; al-Ansari, 2010).

Menurut al-Fahri (2001), prinsip "mura'ah al-khilaf" seperti yang dijelaskan oleh al-Syatibi, adalah untuk mengubah pandangan yang "tidak tepat" saat terjadi perbedaan pendapat demi mencapai tujuan syariat (maqasid syari'ah). Dengan kata lain, adalah mempertimbangkan dalil yang berbeda dari biasanya, dan mengamalkan sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan faktor dampak (maqasid syari'ah) (al-Fahri, 2001; Jaddiyyah, 2010). Secara jelas, seorang mujtahid diizinkan untuk meninggalkan pandangannya dan mazhabnya dengan mengikuti pandangan lain yang dianggap lebih tepat (rajih) berdasarkan argumen yang telah dibahas (Jaddiyyah, 2010).

Penerapan "mura'ah al-khilaf" dapat menyatukan umat Islam melalui etika saling menghormati pandangan mujtahid yang lain, sehingga dapat mempersempit perbedaan (khilaf) dan menghilangkan kesulitan bagi umat Islam. Menurut al-Nadwi (2009), prinsip ini sangat penting karena dapat menimbulkan kehati-hatian dalam beragama, memupuk rasa kasih sayang, dan mendatangkan manfaat yang tepat. Dalam mengomentari hal ini, Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah sesuatu yang buruk.

Konsep mura‘ah al-khilaf adalah seperti istihsan, di mana seorang ahli hukum Islam (mujtahid) lebih memilih dalil dari mujtahid lain (yang tidak dikenal) daripada pendapatnya sendiri, karena lebih dekat dengan tujuan syariah. Prinsip ini juga sejalan dengan sadd al-dhara’i‘, yang bertujuan untuk menghindari unsur-unsur yang dapat membawa kerusakan (al-Qurtubi, t.t.). Al-Syatibi menjelaskan bahwa ini adalah metode untuk mencapai kebaikan dan menghilangkan kemudaratan (al-Syatibi, 1997). Penilaian yang lebih baik (al-aslah) didasarkan pada ukuran dampak suatu kejadian, apakah akan membawa manfaat atau mencegah kemudaratan (Muhammad al-Amin, 2002).

Kedudukan ini sejalan dengan teori ma’alat al-af‘al, yang melihat apakah akhir dari suatu tindakan sejalan dengan tujuan syariah atau tidak (al-Syatibi, 1997; Asni, 2020). Menurut Walid bin ‘Ali al-Husain, ma’alat al-af‘al berarti mempertimbangkan apakah hukum yang diambil sesuai dengan kehendak syariah dan sesuai dengan tujuan amalan tersebut disyariatkan (Walid, 2009; al-Ayubi, 2011). Dengan kata lain, prinsip mura‘ah al-khilaf tidak hanya melihat pada dalil yang dirujuk, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya sejalan dengan tujuan syariah (Shaqrun, 2002). Dengan menerapkan metode istinbat seperti ini, secara tidak langsung akan menghasilkan talfiq, di mana seorang mujtahid melakukan ijtihad tarjihi dengan memilih pandangan yang lebih tepat (arjah). Dalam hal ini, mujtahid tidak hanya mengambil pendapat dari mazhabnya saja, tetapi juga dapat mengambil dari pandangan mazhab lain yang memiliki keputusan yang lebih tepat.

Dalam menghormati perbedaan pandangan dan memilih pandangan yang lebih tepat, seorang mujtahid tidak hanya perlu mengenal maqasid syari'ah, tetapi juga memahami maqasid tersebut dari sudut pandang posisi hukum dan realitas saat ini (waqi'), serta prioritasnya (al-aulawiyyat) untuk diterapkan pada saat itu. Seorang mujtahid dalam menyelesaikan masalah berdasarkan kesesuaian saat ini, membedakan antara yang penting dengan yang kurang penting, serta dapat memberikan pertimbangan yang tepat melalui fiqh timbang tara (al-muwazanat) (al-Qaradawi, 1996). Oleh karena itu, tujuan ini tidak dapat dicapai jika mujtahid tidak melihat adanya kesamaan antara 'illah hukum dan hikmahnya. Oleh karena itu, al-Juwaini (1997) menyatakan bahwa siapa saja yang tidak memahami objektif-objektif syarak terhadap perintah dan larangan, maka dia tidak pantas untuk menentukan hukum syarak.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap fiqh al-waqi ' dapat membantu mujtahid dalam menghormati perbedaan pandangan dengan asumsi bahwa sebagian hukum akan berubah dengan perubahan zaman, tempat, dan adat ('urf). Perubahan zaman akan menyebabkan perubahan pada kebutuhan dan prioritas manusia sehingga dapat mengubah kepentingan (daruriyyah), kebutuhan (hajiyyah), dan keindahan (tahsiniyyah) (Zaidan, 2003). Namun, fleksibilitas ini tidak berlaku jika 'urf tersebut bertentangan dengan nash syarak (al-Ghazali, 1997). 'Urf yang diakui oleh syarak harus sahih (Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah, 1968; Nadwi, 2009; al-Zarqa ', 1995).


KAEDAH MURA‘AH AL-KHILAF DAN PENYERAGAMAN FATWA

Catatan sejarah menunjukkan bahwa fanatisme madzhab dapat membawa dampak buruk. Contohnya, pada tahun 326 H, terjadi perang antara pengikut Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanafi di Masjid al-Jami‘ al-‘Atiq di Mesir yang menimbulkan banyak korban jiwa. Hal serupa juga terjadi di Asfahan, Baghdad pada tahun 414 H, 422 H, 447 H, dan 1382 H, di mana terjadi konflik akibat perbedaan dalam paham agama dan hukum yang dianut oleh masing-masing pihak.

Oleh karena itu, penting untuk menyatukan pandangan dan memperoleh keseragaman dalam kalangan umat Islam. Melalui penyatuan dan keseragaman fatwa, dapat mencegah sikap ekstremisme, menciptakan persatuan dan stabilitas, bahkan memastikan pelaksanaan hukum secara konsisten dan adil. Sejarah menunjukkan bahwa usaha untuk menyatukan dan merayakan perbedaan pandangan ini telah dilakukan oleh banyak pihak, bahkan sejak zaman para Sahabat seperti Ibnu Mas'ud yang menyatakan bahwa perbedaan pandangan itu buruk sehingga ia mengikuti ijtihad Uthman (Khalifah pada saat itu) dan meninggalkan ijtihadnya.

Umar al-Khattab juga menyatakan bahwa ia akan merasa malu di hadapan Allah jika ia memiliki pandangan yang berbeda dengan Abu Bakar, dan dalam hal tersebut Umar memberikan prioritas pada pandangan Abu Bakar. Menurut al-Sya'bi, para ulama agama dari para Sahabat sangat menghargai pandangan sesama Sahabat mereka, seperti Abdullah bin Mas'ud yang menghormati pandangan Umar bin al-Khattab, Abu Musa yang menghormati pandangan Ali, dan Zaid yang menghormati pandangan Ubay bin Ka'ab, meskipun mereka semua memiliki pandangan yang berbeda-beda.

Semangat yang sama berlaku pada zaman tabi'in dan tabi' tabi'in, sehingga pandangan para fuqaha' yang paling berautoritas pada suatu zaman dihormati untuk menghindari perbedaan pendapat. Oleh karena itu, pada zaman Abbasiyah, Setiausaha Negara yaitu 'Abd Allah Ibn al-Muqaffa' mengusulkan kepada Khalifah Abu Ja'far al-Mansur untuk mengangkat kitab al-Muwatta' karya Malik sebagai pandangan utama Kerajaan dan ijtihadnya dijadikan sebuah kode undang-undang yang seragam. Namun, usulan ini tidak diterima oleh Malik. Demikian juga yang diharapkan oleh Khalifah al-Mahdi dan Khalifah al-Rashid untuk menjadikan mazhab Maliki sebagai rujukan resmi. Usulan ini akhirnya diterima oleh Abu Yusof dari mazhab Hanafi ketika kerajaan Harun al-Rashid melantiknya sebagai ketua hakim dan menjadikan kitab al-Kharraj karya Abu Yusof sebagai rujukan.

Selain itu, kerajaan Bani 'Abbasiyyah memerintahkan al-Mawardi untuk menulis kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah sebagai rujukan resmi. Dalam upaya menciptakan kesatuan pandangan fiqih, kerajaan Khadive Muhammad Ali Pasha yang memerintah kerajaan Uthmaniyyah pernah mengeluarkan perintah agar hanya kadi atau mufti yang bermazhab Hanafi saja yang diizinkan untuk mengeluarkan fatwa atau keputusan hukum dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan undang-undang Islam.

Upaya untuk menyeragamkan dan menciptakan hanya satu pandangan fatwa yang diambil dalam sebuah negara tidak berhenti di situ saja. Dalam hal ini, para fuqaha' dan administrator juga harus memahami prinsip-prinsip istinbat hukum syariat yang tepat dan seragam agar hasil ijtihad dapat menghasilkan keputusan yang sama. Oleh karena itu, 'Abd al-Rahman bin Mahdi pernah mengusulkan kepada al-Syafi'i untuk menulis sebuah kitab yang menjelaskan metodologi dalam mengeluarkan hukum fiqh berdasarkan dalil-dalil syariat, yaitu Alquran dan hadis, serta penggunaan dalil yang bersifat qat'i, zanni, nasikh dan mansukh. Penulisan ini bertujuan untuk menggarisbawahi prosedur yang seragam dalam rujukan hukum syariat, di mana hasilnya adalah hukum yang akan dicapai dengan konsisten dan seragam. Selain itu, penyeragaman juga dianjurkan oleh para Imam mazhab yang empat secara tersirat di mana mereka semua menyerukan untuk mengutamakan kekuatan dalil dalam mengamalkan suatu hukum dan meninggalkan pendapat mereka jika lemah.

Dari perspektif hukum Islam, disarankan agar pendapat fiqh disatukan. Banyak ulama seperti 'Abd al-'Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Ali al-Syeikh, Soleh bin Ghasin, Rasyid bin Khunain, Muhammad Mustafa al-Muraghi, Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Muhammad Makhluf, 'Abd al-Wahhab Hafiz, Muhammad Zaki 'Abd al-Barr, Yusof al-Qaradawi, 'Abd al-Nasir Taufiq al-'Atar, Mustafa Ahmad al-Zarqa, Wahbah al-Zuhaili, Muhammad bin al-Hasan al-Hajawi al-Tha'alabi, dan Abu al-A'la al-Mawdudi, telah menegaskan pandangan ini.

Mereka mempercayai bahwa pendapat ini didasarkan pada hujah maslahah, yang berarti bahwa hal ini akan mempermudah para hakim dan masyarakat Muslim untuk memahami hukum syariat. Selain itu, juga akan mengurangi kesalahan dalam menjatuhkan hukuman, menyatukan fatwa negara dengan memilih hukum yang paling kuat, serta menghindari konflik. Penggunaan dalil maslahah ini sesuai, karena tidak ada dalil yang melarang atau menetapkan hal ini, dan sangat berguna untuk diterapkan dalam politik syariah, di mana pemerintah telah menetapkan hukum-hukum yang mempermudah urusan masyarakat dan diwajibkan untuk ditaati.

Menyatukan pendapat fatwa menjadi tanggung jawab pemerintah di bawah prinsip siyasah al-syariyyah. Ketika pemimpin sudah menetapkan suatu hukum, maka wajib untuk mematuhi dan patuh terhadap hukum tersebut. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

Maksudnya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan

taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu.” (Al-Nisa’: 59)

Dalam ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin, baik itu pemerintah atau ulama. Oleh karena itu, para fuqaha’ menetapkan hukum yang harus dijadikan undang-undang, sedangkan pemerintah harus menguatkuasakan undang-undang tersebut agar diikuti oleh semua orang (al-Muhamid, 2001). Ini didukung pula oleh firman Allah SWT yang mengatakan, “...bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali-Imran: 159). Dengan bermusyawarah, kita dapat menghindari perselisihan dan mencapai kata sepakat (al-Muhamid, 2001).

Sunnah Nabi SAW juga menetapkan untuk mentaati pemimpin, seperti sabda Baginda SAW yang mengatakan, “Dengarlah dan taatlah walaupun yang memerintah kamu adalah hamba abdi Habsyi” (al-Bukhari, no. Hadis: 7142). Namun, jika terjadi perbedaan pendapat, maka fuqaha' lain di negara tersebut harus mengikuti fatwa resmi yang telah diputuskan, meskipun bertentangan dengan ijtihad mereka sendiri (‘Abidin, 1386H). Setidaknya, sikap menghargai pandangan dalam fatwa resmi ini akan menciptakan pelaksanaan hukum yang seragam, yang pada gilirannya dapat mewujudkan suasana yang adil, seperti yang menjadi tujuan Syarak sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat Al-Nisa’: 58.

Dengan demikian, semua cara yang dapat memastikan keadilan dan kesatuan pandangan harus dilaksanakan. Sebagaimana kaedah fiqh yang menyebutkan, "Sesuatu yang wajib tidak lengkap kecuali dengan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka hal-hal tersebut juga menjadi wajib" (al-Subki, 1991).

Meskipun demikian, fatwa resmi pemerintah juga harus didasarkan pada pandangan yang paling kuat, yaitu didasarkan pada dalil, maslahah, dan maqasid al-syari’ah agar menjadi kuat dan kokoh. Hal ini bertujuan untuk memastikan perbedaan pandangan antara para fuqaha' tidak terlalu besar dan dipercayai oleh sebagian besar fuqaha' pada masa itu. Oleh karena itu, penyeragaman pandangan ini dapat dilakukan dengan damai dan memastikan proses pelaksanaan dan pengelolaan hukum Islam dapat dilakukan dengan adil.

Secara tidak langsung, kerapuhan dalam suatu mazhab tidak terlalu membatasi mujtahid dalam berijtihad sehingga mengurangi dominasi taqlid dan sikap ekstremisme dalam mengikuti fatwa mazhab masing-masing. Oleh karena itu, semangat keterbukaan dan pendekatan reformisme untuk membatasi ketergantungan yang berlebihan pada taqlid, terutama dalam metodologi pengambilan suatu fatwa, harus dimiliki oleh mujtahid saat ini agar dapat menghasilkan fatwa yang seragam, seimbang, dan adil untuk diterapkan pada masyarakat dan negara.


Lanjutan dari artikel ini bisa baca dari PDF di atas

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING