} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

Mendahului Penguasa Pada Amalan Ibadah Yang Bersifat Jama'i

MENDAHULUI PENGUASA PADA AMALAN IBADAH YANG BERSIFAT JAMA'I (Puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha)

Terjemah bebas dari bagian akhir risalah pendek karya Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah yang berjudul أحكام الاختلاف في رؤية هلال ذي الحجة (Hukum-hukum perbedaan dalam pengamatan hilal Dzulhijjah)

Sumber berbahasa Arab : Klik di sini

...

ويحقق[153] هذا: أن التقدم على الإمام بذبح النسك منهي عنه، كالتقدم عليه بالصيام، والتقدم عليه بالدفع من عرفة[154]، والتقدم عليه بصلاة الجمعة، ولذلك منع طائفة من أصحابنا كأبي بكر عبد العزيز[155] أهل الأعذار أن يصلوا الظهر يوم الجمعة حتى يصلي الإمام الجمعة[156].

Kesimpulannya: Bahwa mendahului penguasa dalam menyembelih hewan kurban adalah dilarang, seperti mendahului penguasa dalam berpuasa, mendahului penguasa dalam melempar jumrah dari Arafah, dan mendahului penguasa dalam shalat Jumat. Oleh karena itu, sekelompok sahabat kita, seperti Abu Bakr Abdul Aziz melarang orang-orang yang memiliki udzur melaksanakan shalat Zhuhur pada hari Jumat, untuk tidak melakukan sholat Dzuhur kecuali setelah penguasa selesei  melaksanakan shalat Jumat.

ولذلك[157] تنازع العلماء: هل يجوز التقدم على الإمام بالذبح يوم النحر، أم لا يجوز[158] حتى يذبح الإمام نسكه؟

Dan karena itu, para ulama berselisih pendapat: Apakah diperbolehkan untuk mendahului imam dalam menyembelih hewan kurban pada hari Idul Adha, atau tidak diperbolehkan hingga imam menyembelih hewan kurban terlebih dahulu?

فيه[159] قولان مشهوران للعلماء[160]، ولا خلاف بينهم أن الأفضل أن يذبح الناس حتى يذبح الإمام[161].

Dalam hal ini, terdapat dua pendapat yang terkenal di kalangan para ulama, dan tidak ada perselisihan di antara mereka bahwa yang terbaik adalah bagi orang-orang untuk menyembelih hewan kurban mereka setelah imam menyembelih hewan kurban.

وقال الحسن في قوله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ} [الحجرات: 1 ] قال: لا تذبحوا قبل الإمام. خرجه ابن أبي حاتم[162].

Al-Hasan berkata mengenai ayat Allah Ta'ala, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya" (Surah Al-Hujurat: 1): "Janganlah menyembelih sebelum imam." Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

فإن قيل: أليس قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم أصحابه عند وجود الأئمة الذين يؤخرون الصلاة عن وقتها أن يصلوا الصلاة لوقتها وأن يجعلوا صلاتهم معهم نافلة[163]، مع أن في ذلك افتياتا على الأئمة واختلافا عليهم؛ ولهذا كان بنو أمية يشددون في ذلك ويستحلفون الناس عند مجيئهم للصلاة، أنهم ما صلوا قبل ذلك[164].ومع هذا فقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بالصلاة في الوقت سرا وبالصلاة معهم نافلة لدفع شرهم وكف أذاهم، 

وهذا يدل على أنه لا يجوز لأحد ترك ما يعرفه من الحق، لموافقة الأئمة وعموم الناس، بل يجب عليه العمل بما يعرفه من الحق في نفسه، وإن كان فيه مخالفة للأئمة وعموم الناس المتبعين لهم، وحينئذ فلا يجوز أن يؤمر من رأى الهلال، أو من أخبره[165] برؤيته من يثق به أن يتبع الإمام والجماعة معه، ويترك ما[166] عرفه من الحق.

Jika dikatakan: 

Bukankah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan para sahabatnya ketika ada imam-imam yang menunda waktu salat agar mereka salat sesuai waktu dan menjadikan salat mereka dengan imam-imam tersebut sebagai salat sunnah? Meskipun dalam hal ini terdapat fatwa-fawa yang berbeda mengenai para imam, maka karena itulah Bani Umayyah sangat memperketat hal ini dan mereka memohon sumpah kepada orang-orang ketika mereka datang untuk salat, bahwa mereka tidak pernah salat sebelum itu. Meskipun demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan salat pada waktunya secara rahasia dan salat sunnah bersama mereka untuk menghindari bahaya dan mencegah kerusakan. Bukankah ini menunjukkan bahwa seseorang tidak diizinkan untuk meninggalkan apa yang ia ketahui sebagai kebenaran hanya karena kesepakatan dari para imam atau mayoritas orang?!. Sebaliknya, dia diwajibkan untuk bertindak sesuai dengan kebenaran yang dia yakini dalam dirinya sendiri, meskipun itu berarti berbeda dengan pendapat para imam dan mayoritas orang yang mengikutinya. Dalam hal ini, tidak diizinkan bagi seseorang yang melihat hilal atau mendapat laporan tentangnya dari seseorang yang dipercaya untuk mengikuti imam dan jamaah yang bersamanya, dan meninggalkan apa yang dia ketahui sebagai kebenaran.

فالجواب: أن ما نحن فيه ليس من هذا القبيل، وذلك أن الصلاة لها وقت محدود في الشرع معلوم أوله وآخره علما ظاهرا، فمن غيره من الأئمة لم تجز[167] متابعته في ذلك، لأن فيه موافقة على تغيير الشريعة، وذلك لا يجوز.

Jawabannya adalah bahwa apa yang sedang kita bicarakan di sini bukan termasuk dalam konteks tersebut. Hal ini karena waktu salat memiliki batasan yang ditentukan dalam syariat, dengan awal dan akhirnya yang jelas diketahui. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk mengikuti imam-imam lain dalam hal tersebut, karena itu akan mengakibatkan kesepakatan untuk mengubah syariat, yang tentu saja tidak diizinkan.

فنظير هذا من مسألتنا أن يشهد[168] شهود عدول عند حاكم برؤية هلال ذي الحجة أو رمضان، فيقول: هم عندي عدول ولا أقبل شهادتهم. أو نحو ذلك مما يظهر فيه أنه[169] تعمد ترك الواجب بغير عذر. فهنا[170] لا يلتفت إليه ويعمل بمقتضى الحق[171]، وإن كان يظهر له التقية إذا خيف من شره. كما أمر النبي صلى الله عليه وسلم بالصلاة مع أولئك الأمراء نافلة. 

وهذا بخلاف الأمور الاجتهادية التي تخفى ويسوغ في مثلها الاجتهاد، كقبول الشهود وردهم، فإن هذا مما تخفى أسبابه، وقد يكون الحاكم معذورا في نفس الأمر، ففي مثل هذا لا يجوز الافتيات على الأئمة ونوابهم ولا إظهار مخالفتهم، ولو كانوا مفرطين في نفس الأمر، فإن تفريطهم عليهم لا على من لم يفرط، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم في الأئمة: ((يصلون لكم[172] فإن أصابوا فلكم ولهم، وإن أخطأوا فلكم وعليهم)) خرجه البخاري[173]. انتهى والله أعلم[174].

Hal yang serupa dengan ini dalam masalah kita: ketika saksi-saksi yang adil memberikan kesaksian kepada seorang penguasa tentang pengamatan hilal Dzulhijjah atau Ramadan, kemudian penguasa tersebut berkata: Mereka adalah saksi-saksi yang adil di hadapan saya, namun saya tidak menerima kesaksian mereka. Atau hal serupa yang menunjukkan adanya niatan untuk meninggalkan kewajiban tanpa alasan yang dibenarkan. Pada kondisi ini tidak perlu memperhatikan pendapat tersebut dan wajib beramal sesuai dengan kebenaran, meskipun terlihat bahwa ia melakukan tindakan yang berbeda karena takut akan bahayanya. Seperti halnya Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk melakukan salat sunnah bersama para penguasa tersebut.

Namun, berbeda dengan masalah-masalah yang memerlukan ijtihad yang tidak terlihat secara jelas, dan dalam hal ini ijtihad diperbolehkan, seperti menerima atau menolak kesaksian saksi-saksi. Ini karena alasan-alasan di baliknya tersembunyi, dan mungkin penguasa memiliki alasan yang membenarkan tindakannya. Oleh karenanya, dalam situasi seperti ini, tidak diperbolehkan bagi orang lain untuk memberikan fatwa yang bertentangan dengan pendapat penguasa atau mengungkapkan perbedaan pendapat, bahkan jika mereka melakukan kesalahan dalam masalah tersebut. Seperti yang disabdakan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم tentang para penguasa: 'Mereka melaksanakan salat untukmu, jika mereka benar maka pahala ada pada kamu dan pada mereka. Jika mereka salah, maka dosa ada pada kamu dan pada mereka.' (HR. Bukhari). 

Sampai di sini, dan Allah lebih mengetahui.


  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING