🕋 Fatwa tanpa memahami
realita? Kesalahan fatal yang bisa menyesatkan umat!
Bagaimana jika kita memberikan fatwa tanpa mempertimbangkan
perubahan zaman, adat istiadat, dan realita kehidupan masyarakat? Apakah itu
mencerminkan keadilan syariat? Atau justru menimbulkan kerusakan dan salah
paham?
📜 Dalam seminar ilmiah
ini, SS. Dato Prof. Dr. MAZA, Mufti Negeri Perlis, mengupas:
- Pentingnya
memahami konteks zaman dan tempat dalam berfatwa.
- Perbedaan
antara hukum syariat yang tetap (tsabit) dan yang berubah sesuai realita
(mutaghayyirat).
- Contoh
bijaksana dari Nabi Muhammad ﷺ yang memberikan
jawaban berbeda untuk pertanyaan yang sama berdasarkan latar belakang
penanya.
🔥 Ini bukan sekadar
teori, tapi fondasi penting yang harus dipahami oleh para pengemban dakwah,
ulama, dan umat Islam di era modern ini.
🔗 Dengarkan audio ini dan
temukan bagaimana syariat Islam merespons perubahan zaman tanpa kehilangan
nilai-nilai inti! Jangan sampai ketinggalan wawasan berharga ini. 🌟
Penyusun :
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis
Diterbitkan untuk edukasi masyarakat ramai oleh: Jabatan Mufti Negeri Perlis
Seminar Fiqhul Waqi' (Fiqh Realita), di Auditorium JAKIM Kompleks Islam Putrajaya, Kuala Lumpur - Malaysia
Faedah terkait lainnya bisa
klik di sini
Note : Artikel di bawah ini adalah translate dari bahasa Melayu PDF di atas
(tanpa menyertakan teks arab dan footnote)
KATA PENGANTAR PENULIS
Dunia mengalami perubahan dan keadaan manusia turut berubah. Keadaan pada
masa lalu mungkin berbeda dengan saat ini. Keadaan masyarakat juga bisa
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Lingkungan suatu negeri atau
tempat serta keadaan sekitarnya mempengaruhi nilai dan cara hidup manusia
di dalamnya. Hal yang dibutuhkan oleh manusia saat ini atau di tempat
tertentu, mungkin tidak diperlukan oleh manusia dahulu atau di tempat
lain. Begitu juga sebaliknya. Hal yang membahayakan manusia di masa lalu,
mungkin tidak lagi berlaku saat ini. Begitu juga sebaliknya. Hal yang
dianggap kesalahan dalam adat suatu kaum, mungkin tidak demikian pada kaum
yang lain. Dan seterusnya.
Oleh karena itu, pandangan hukum syariat yang dikeluarkan atau disimpulkan
harus mempertimbangkan perbedaan realitas. Merupakan kesalahan jika
seorang ilmuwan hukum memberikan fatwa tanpa mempertimbangkan realitas
tentang siapa dan di mana fatwa tersebut ditujukan.
Buku ringkas ini mencoba memberikan gambaran umum kepada pembaca tentang
pentingnya memahami realitas sebelum memberikan fatwa.
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan keberkahan kepada penulis.
PRAKATA
Dalam Islam, ada beberapa hal yang tidak dapat berubah (thawabit) seperti
shalat, puasa, haji, dan sejenisnya. Namun, banyak aturan yang berkaitan
dengan situasi manusia terutama dalam urusan muamalah seperti jual-beli,
sewa-menyewa, riba, pakaian, pergaulan, dan sebagainya.
Al-Imam Ibn Qayyim (wafat tahun 751H) dalam karyanya yang terkenal I'lam
al-Muwaqqi'in memasukkan sebuah bab :
Pasal yang membahas perubahan fatwa dan perbedaannya berdasarkan
perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan adat.
Bahkan Imam Ibn Qayyim memberikan peringatan yang keras kepada mereka yang
memberikan fatwa tanpa memahami realitas atau tujuan fatwa. Dia berkata:
Siapa pun yang memberikan fatwa kepada orang banyak hanya dengan
mengutip dari buku-buku saja, yang berbeda adat, kebiasaan, waktu, tempat,
kondisi, dan suasana, maka dia telah sesat dan menyesatkan.
Kejahatannya terhadap agama lebih besar daripada kejahatan seseorang
yang menyembuhkan tubuh orang banyak yang berbeda negara, kebiasaan,
waktu, dan tabiat mereka hanya berdasarkan satu buku dari buku-buku
pengobatan.
Bahkan, tabib yang bodoh dan mufti yang bodoh lebih
merugikan agama dan manusia.
Fatwa yang tidak memperhatikan realitas adalah fatwa yang dikeluarkan
tanpa memperhatikan lingkungan tempat dan waktu di mana fatwa tersebut
dikeluarkan. Ini termasuk ketidakpedulian terhadap individu, tempat, dan
waktu di mana fatwa itu diungkapkan. Ini seperti tidak membedakan fatwa
untuk orang yang sehat dengan fatwa untuk orang yang sakit. Atau seperti
tidak membedakan fatwa untuk negara minoritas Muslim dengan negara
mayoritas Muslim. Atau seperti tidak membedakan fatwa untuk zaman dulu
dan zaman sekarang yang berubah dalam berbagai aspek.
TSABIT
Hal-hal yang tetap atau tsabit, seperti dasar-dasar akidah, cara ibadah
khusus, dan prinsip-prinsip akhlak yang sepenuhnya didasarkan pada
dalil-dalil dari al-Quran dan al-Sunnah, tidak terpengaruh oleh latar
individu, waktu, dan tempat. Itu semua tidak berubah. Umat Islam di
semua tempat dan zaman percaya dan mengamalkan hal yang sama.
Namun, ada beberapa perincian dalam hal-hal tersebut yang masih terikat
pada keadaan individu, waktu, dan tempat. Pendekatan dalam memahami
akidah, misalnya, mempertimbangkan latar mukhatab (pihak yang diucapkan
sesuatu) agar mudah dipahami oleh mereka. Pendekatan untuk orang Badawi
di padang pasir pasti berbeda dengan mereka yang terpelajar di
universitas.
Hal yang sama berlaku untuk ibadah khusus. Meskipun tidak berubah, namun
perincian hukumnya terkadang terkait dengan latar tertentu. Seperti
shalat bagi orang uzur berbeda dengan orang yang sehat. Demikian juga
puasa, meskipun waktu berbuka puasa didasarkan pada matahari terbenam di
suatu tempat, namun untuk negara seperti Kutub Utara dan Selatan yang
memiliki waktu matahari yang tidak terbit dan tidak terbenam atau negara
yang sangat terlambat terbenam, fatwa khusus untuk keadaan mereka
diperlukan.
Oleh karena itu, keadaan yang berbeda seringkali membutuhkan
penyelesaian yang berbeda. Dalam hadis tentang kedatangan Dajjal di
akhir zaman, sahabat bertanya berapa lama Dajjal akan tinggal di bumi?
Nabi s.a.w menjawab:
"Empat puluh hari; sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan,
sehari seperti seminggu, dan selebihnya seperti hari-hari biasa kamu".
Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi, "Wahai Rasulullah! Pada
hari yang seperti setahun itu, apakah memadai bagi kami untuk
melakukan shalat selama sehari?" Lalu Nabi menjawab, "Tidak! Kamu
harus mengira-ngira (mengindahkan) waktu shalat itu sendiri".
Demikian juga dalam hal akhlak, menghormati orang tua adalah akhlak yang
penting dalam Islam, namun bagaimana cara menghormati orang tua
kadang-kadang terkait dengan keadaan, budaya, dan lingkungan sekitar.
Mungkin tindakan yang dianggap kasar terhadap orang tua berbeda-beda di
antara budaya yang berbeda. Cara orang Melayu mungkin berbeda dengan
cara bangsa lain dalam menghormati orang tua. Apa yang dianggap tidak
sopan oleh orang Melayu dalam menghormati orang tua mungkin tidak
dianggap begitu oleh bangsa lain. Begitu pula sebaliknya. Maka, mungkin
ada tindakan yang diharamkan terhadap orang tua dalam suatu kelompok,
namun tidak diharamkan dalam kelompok lain. Mungkin ada pahala yang
didapatkan jika melakukan tindakan tertentu terhadap orang tua dalam
kelompok tertentu, tetapi tidak dalam kelompok lain.
MEMAHAMI REALITAS
Dalam konteks fatwa, memahami latar belakang budaya dan adat sangat
penting. Mengetahui konteks suatu isu sebelum mengeluarkan fatwa
adalah suatu keharusan. Sayangnya, ada kelompok literalis yang muncul
di beberapa Negara Teluk yang menolak Fiqh al-Waqi' atau fiqh
berdasarkan realitas, karena mereka menganggap bahwa hal itu tidak
terjadi pada zaman Salaf. Pendekatan semacam itu akan menghasilkan
fatwa yang tidak sesuai dan menyulitkan.
Kelompok yang menentang fatwa yang berdasarkan pada realitas
menganggap bahwa hukum Allah sama di setiap tempat, zaman, dan
individu. Namun, kenyataannya, dunia selalu berubah dan budaya serta
masalah di setiap zaman dan tempat berbeda-beda. Nabi Muhammad sendiri
dalam banyak hadis memberikan jawaban yang berbeda-beda untuk
pertanyaan yang sama karena latar belakang dan keadaan penanya pada
saat itu.
Dari Abd Allah bin 'Amr bin al-'As: Pada suatu hari, kami berada di
dekat Nabi saw. Kemudian datang seorang pemuda dan bertanya, "Wahai
Rasulullah, bolehkah saya mencium istri saya sedangkan saya sedang
berpuasa?" Baginda menjawab, "Tidak boleh." Kemudian datang seorang tua
dan bertanya, "Bolehkah saya mencium istri saya sedangkan saya sedang
berpuasa?" Baginda menjawab, "Boleh." Kami saling pandang satu sama
lain. Kemudian Nabi saw bersabda, "Saya tahu mengapa kamu saling
pandang. Sesungguhnya orang tua itu mampu mengendalikan dirinya."
Demikian dalam hadis daging korban;
Nabi s.a.w bersabda, "Barangsiapa di antara kalian yang menyembelih
hewan kurban, janganlah menyimpan dagingnya lebih dari tiga hari,
bahkan jika itu hanya sedikit daging." Tahun berikutnya, para
sahabat bertanya kepada Nabi s.a.w, "Wahai Rasulullah, apakah kami
harus berbuat seperti tahun lalu (tidak boleh menyimpan daging lebih
dari tiga hari)?" Nabi s.a.w menjawab, "Makanlah, berikanlah kepada
orang lain, dan simpanlah jika kalian perlu. Tahun lalu, orang-orang
dalam kesulitan (kekurangan makanan), dan pada saat itu, aku ingin
kalian membantu mereka."
Hadis ini menunjukkan bahwa arahan awal Nabi s.a.w agar tidak menyimpan
daging kurban lebih dari tiga hari pada waktu itu sangat berkaitan
dengan keadaan lingkungan di mana banyak orang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan makanan. Namun, jika situasinya berubah, arahan ini tidak
lagi berlaku.
Cara Nabi s.a.w dalam memperlakukan individu kadang-kadang berbeda
karena perbedaan nilai yang ada pada individu itu sendiri. Sebagai
contoh dalam hadis dari A'shah r.a.:
Rasulullah s.a.w pernah berbaring di rumahku dengan
memperlihatkan bagian paha atau betis. Abu Bakr meminta izin
untuk masuk, dan baginda memberi izin sambil masih dalam keadaan
tersebut. Baginda berbicara dengan Abu Bakr. Kemudian Umar
meminta izin masuk, dan baginda juga memberi izin sambil masih
dalam keadaan tersebut. Baginda berbicara dengan Umar. Kemudian
Uthman meminta izin masuk, dan baginda mengizinkan. Baginda
duduk dan membetulkan pakaiannya. Uthman masuk dan berbicara.
Setelah Uthman keluar, Aisyah berkata, "Abu Bakr masuk, engkau
tidak memperlihatkan wajah gembira dan mempedulikannya. Umar
masuk, engkau tidak memperlihatkan wajah gembira dan
mempedulikannya. Kemudian Uthman masuk, engkau duduk dan
membetulkan pakaiannya". Baginda bersabda, "Tidakkah aku malu
terhadap lelaki yang para malaikat malu terhadapnya".
Demikian juga, Nabi s.a.w memberikan jawaban yang berbeda-beda untuk
pertanyaan yang sama disebabkan oleh perbedaan latar belakang
seperti pertanyaan, "Apa amalan terbaik?" dan "Berikan nasihat
untukku". Perbedaan jawaban terjadi karena perbedaan latar belakang
dari orang yang bertanya. Banyak hadis yang membuktikan pentingnya
memahami latar belakang individu, situasi, waktu, dan tempat dalam
menentukan hukum. Hal ini karena perintah-perintah syariat memiliki
tujuan yang ingin dicapai yang disebut maqashid syariat atau tujuan
syariat. Perubahan atau perbedaan tempat, waktu, individu, dan
situasi dapat menyebabkan pendekatan atau cara untuk mencapai tujuan
syariat juga berubah dan berbeda.
Berikut ini adalah beberapa contoh jawaban Nabi SAW yang berbeda-beda
dalam menjawab pertanyaan yang sama, yaitu: "Apakah amalan yang
terbaik?"
Dari Abdullah bin Mas’ud, aku bertanya kepada Nabi saw, "Apakah
amalan yang paling dicintai Allah?" Nabi saw menjawab, "Shalat
tepat waktu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Nabi saw
menjawab, "Kemudian berbakti kepada kedua orang tua." Aku
bertanya lagi, "Kemudian apa?" Nabi saw menjawab, "Berjihad di
jalan Allah."
Dalam riwayat Aishah r.a, disebutkan:
Rasulullah s.a.w pernah ditanya mengenai amalan yang paling
dicintai Allah. Baginda menjawab, 'Amalan yang terus-menerus
dilakukan meskipun sedikit.'"
Dalam riwayat Abu Hurairah:
Dari Abu Hurairah: Rasulullah s.a.w pernah ditanya, "Apakah
amalan yang paling utama?" Baginda menjawab, "Iman kepada Allah
dan Rasul-Nya." Lalu ditanya lagi, "Setelah itu apa?" Baginda
menjawab, "Berjihad di jalan Allah." Kemudian ditanya lagi,
"Setelah itu apa?" Baginda menjawab, "Haji yang diterima
(mabrur)."
Dalam hadis Abu Umamah:
Dari Abu Umamah: Beliau pernah bertanya kepada Rasulullah
s.a.w tentang amalan yang paling utama. Baginda menjawab,
"Hendaklah engkau berpuasa, karena tidak ada yang dapat
menyamai amalan itu." Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, perbedaan dalam jawaban Nabi s.a.w dalam
hadis-hadis tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang
individu yang menanyakan.
bersambung insya Allah...