MAZHAB HANAFI: DINAMIKA, SUMBANGAN, DAN RELEVANSI

Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Seminar Khazanah Keilmuwan Empat Mazhab Fiqh, Siri 1: Mazhab Hanafi, Tarikh 2023

Mazhab Hanafi tidak lahir dalam ruang hampa; ia tumbuh dari realitas sosial Kufah yang kompleks, lalu berkembang menjadi mazhab terbesar yang pernah menaungi peradaban Islam. Dengan metodologi ijtihad yang rasional dan keluasan pandangan, ia menawarkan dinamika yang membentuk wajah fiqh klasik hingga kontemporer. Namun, pertanyaan yang harus kita ajukan hari ini adalah: apakah kita benar-benar mewarisi keluasan dan keberanian intelektual Imam Abu Hanifah, atau sekadar mewarisi fanatisme mazhab yang justru mengkerdilkan rahmat perbedaan dalam Islam?


Rangkuman Ucaptama Seminar: "Mazhab Hanafi - Fekah dan Sumbangan"


Bagian 1: Pendahuluan dan Konteks Seminar

[00:00 - 03:40]

  • Pembuka dan Sambutan: Pidato dimulai dengan salam dan ungkapan syukur. Pembicara menyapa para tamu kehormatan, termasuk para mufti, rektor, dan akademisi yang hadir.
  • Tujuan Seminar: Seminar ini adalah bagian dari siri seminar tentang empat mazhab fikih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tujuannya adalah untuk memberikan penerangan kepada masyarakat Malaysia tentang khazanah keilmuan Islam yang sangat kaya, khususnya empat mazhab fikih yang paling prominent (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali).
  • Kekayaan Khazanah Fikih: Pembicara menekankan bahwa khazanah fikih Islam sangat luas, tidak terbatas hanya pada empat imam mazhab. Ada banyak imam lain seperti Al-Thawri, Al-Awza'i, Al-Laits bin Sa'ad, Al-Tabari, dan Ja'far al-Sadiq yang juga memiliki madrasah pemikiran fikih mereka sendiri. Namun, empat mazhab itulah yang paling besar dan berpengaruh.
  • Komitmen Institusi: Pembicara mengumumkan bahwa di KUIPS (yang akan menjadi UNISIRA) akan didirikan "Museum Empat Mazhab". Ini adalah bukti nyata komitmen untuk tidak menolak mazhab, tetapi bahkan mengangkat dan menghormati semua khazanah mazhab tersebut.

Bagian 2: Pelajaran dari Keagungan Imam-Imam Mazhab

[03:40 - 08:55]

  • Kedudukan Imam yang Ditinggikan Allah: Pembicara mengutip firman Allah SWT:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (QS. As-Sajdah: 24)

  • Syarat Kepemimpinan dalam Agama: Pembicara mengutip penafsiran Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang menukil dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah: "Bi sabri wal yaqeen tunalu al-imamatu fi ad-din" (Dengan kesabaran dan keyakinan, engkau akan mencapai kedudukan kepimpinan dalam agama). Inilah kunci kehebatan para imam mazhab.
  • Bahaya Fanatisme (Ta'assub) Buta: Pembicara memberikan contoh ekstrem bahaya fanatisme, yaitu dengan menyebutkan sebuah hadis palsu yang dibuat oleh kalangan fanatik Hanafi untuk menjelekkan Imam Syafi'i. Isi hadis palsu itu mengatakan bahwa Abu Hanifah adalah "lampu yang bercahaya" sementara Imam Syafi'i "lebih mudarat dari iblis". Ini menunjukkan bagaimana fanatisme dapat mendorong seseorang kepada kedustaan.
  • Dampak pada Ulama Lain: Fanatisme pengikut Hanafi ini juga dikisahkan mempengaruhi Imam al-Bukhari. Diceritakan bahwa Imam al-Bukhari sering enggan menyebut nama Abu Hanifah secara langsung dan hanya menyebut "sebagian orang" (qala ba'dun-nas) ketika meriwayatkan pendapatnya, sebagai bentuk kekecewaan terhadap gangguan yang terus menerus dari kalangan fanatik tersebut. Pembicara menekankan bahwa ini bukan kesalahan Abu Hanifah sendiri.

Bagian 3: Kisah Keteladanan dan Perjuangan Imam Abu Hanifah

[08:55 - 18:15]

  • Integritas dan Penolakan terhadap Jabatan: Abu Hanifah dicambuk lebih dari 280 kali oleh penguasa, Ibn Hubairah, karena menolak untuk diangkat menjadi Qadi (hakim) atau Mufti. Penolakan ini menunjukkan integritasnya yang tinggi dan keengganannya untuk terlibat dalam kekuasaan yang berpotensi mempengaruhi independensi ilmunya.
  • Investasi pada Murid: Kisah Abu Yusuf: Diceritakan dengan detail bagaimana Abu Hanifah mendidik dan membiayai muridnya, Abu Yusuf, yang berasal dari keluarga miskin. Abu Hanifah memberikan 100 dirham kepada Abu Yusuf untuk keperluan keluarganya agar ia dapat fokus belajar. Ibunya awalnya keberatan karena ingin anaknya belajar menjahit untuk menghasilkan uang, tetapi Abu Hanifah meyakinkannya bahwa suatu hari nanti Abu Yusuf akan makan makanan mewah (Faloodaj bi-duhnil fustuk).
  • Murid yang Menjadi Penguasa: Berbeda dengan gurunya, Abu Yusuf justru menerima jabatan dan menjadi Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung/Ketua Mahkamah) pertama dalam sejarah Islam di bawah Khalifah Harun al-Rasyid. Prediksi Abu Hanifah terbukti ketika suatu hari Abu Yusuf benar-benar menyantap hidangan mewah itu bersama khalifah.
  • Pengaruh Politik terhadap Penyebaran Mazhab: Kedudukan strategis Abu Yusuf inilah yang menjadi faktor utama penyebaran Mazhab Hanafi yang sangat luas ke Iraq, Syam, India, Pakistan, China, hingga mencakup lebih dari sepertiga dunia Islam. Kekuasaan digunakan untuk mengangkat mazhab gurunya melalui penunjukkan hakim-hakim dan kebijakan yang sesuai dengan fikih Hanafi. Pembicara menyimpulkan: "Kenapa? Kerana kekuatan Abu Yusuf."

Bagian 4: Kontribusi Intelektual dan Sikap Ilmiah Mazhab Hanafi

[18:15 - 21:01]

  • Pilar Literatur Hanafi: Muhammad bin Hasan asy-Syaibani: Pembicara menyebut peran kunci murid lain, Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, yang merupakan pencatat dan pengkodifikasi utama pemikiran Abu Hanifah. Karyanya yang dikenal sebagai Zahir ar-Riwayah (berupa 6 kitab: Al-Mabsut, Az-Ziyadat, Al-Jami' al-Kabir, Al-Jami' as-Saghir, As-Siyar al-Kabir, As-Siyar as-Sagir) menjadi fondasi dan rujukan utama Mazhab Hanafi.
  • Fleksibilitas dalam Berfatwa: Pembicara (yang juga seorang mufti) menyatakan bahwa kebenaran fikih tidak hanya terpaku pada empat mazhab. Dalam fatwa-fatwa di Perlis, mereka terkadang mengambil pendapat di luar empat mazhab jika diperlukan, seperti pendapat Al-Laits bin Sa'ad dan lainnya, yang juga dianggap sebagai "jago-jago" (jago-jago) dalam bidang fikih.

Bagian 5: Turning Point dan Adab Ilmiah Abu Hanifah

[21:01 - 30:08]

  • Momentum Perubahan: Titik balik (turning point) yang mengubah Abu Hanifah dari seorang pedagang menjadi ahli fikih adalah nasihat dari Amir bin Syarahil asy-Sya'bi, seorang ulama terhormat. Asy-Sya'bi menasihati Abu Hanifah yang masih muda untuk tidak hanya fokus pada pasar, tetapi juga mendatangi para ulama untuk menuntut ilmu.
  • Kesetiaan pada Guru: Abu Hanifah kemudian belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman selama 18 tahun. Suatu ketika, ketika Hammad pergi, Abu Hanifah menggantikannya mengajar. Dari 60 pertanyaan yang dijawabnya, 40 pendapatnya sesuai dengan Hammad dan 20 berbeda. Kesetiaannya begitu tinggi hingga ia selalu mendoakan dan memohonkan ampun untuk gurunya dalam setiap shalatnya.
  • Kisah Teladan tentang Adab Berbeda Pendapat: Diceritakan suatu ketika Abu Hanifah memberi fatwa di Masjid Khaif. Seorang lelaki menolaknya dengan berkata, "Tetapi Hasan al-Bashri berkata begini..." Abu Hanifah dengan tenang menjawab, "Hasan salah," lalu berdiri dan pergi tanpa emosi. Pembicara menjelaskan bahwa maksudnya bukan menghina Hasan al-Bashri, tetapi menunjukkan bahwa dalam masalah ijtihadiyah, setiap ulama bisa saja keliru dan ada pendapat lain yang lebih kuat (dalam hal ini dari Abdullah bin Mas'ud). Ini adalah pelajaran berharga tentang adab dalam berbeda pendapat dan tidak mudah menuduh orang lain bodoh atau sesat hanya karena pendapatnya berbeda.

Bagian 6: Penutup

[30:08 - 30:35]

  • Seminar Berkelanjutan: Pembicara menutup pidato dengan menyatakan bahwa seminar ini adalah yang pertama dalam siri seminar tentang empat mazhab.
  • Tujuan Akhir: Tujuan dari semua ini adalah untuk mengajak semua pihak menghargai khazanah keilmuan Islam yang sangat kaya dan berharga ini.

Kesimpulan Utama Pidato:

Pidato ini menekankan beberapa poin kunci:

  1. Penghargaan terhadap Khazanah: Pentingnya menghargai semua mazhab fikih sebagai kekayaan intelektual Islam, bukan untuk dipertentangkan.
  2. Pelajaran Hidup dari Imam: Kisah-kisah para imam mazhab, khususnya Abu Hanifah, penuh dengan pelajaran tentang integritas, kesabaran, keyakinan, investasi dalam pendidikan, dan kesetiaan.
  3. Faktor Penyebaran Mazhab: Penyebaran sebuah mazhab tidak hanya ditentukan oleh kebenaran ilmiahnya, tetapi juga oleh faktor politik dan dukungan kekuasaan, sebagaimana terjadi pada Mazhab Hanafi melalui peran Abu Yusuf.
  4. Adab dalam Perbedaan: Perlunya menjaga adab yang tinggi dalam berijtihad dan berbeda pendapat, serta menjauhi fanatisme buta yang merusak.

💖 Cinta Sejati kepada Ulama: Meneladani Kerendahan Hati Imam Abu Hanifah

1. Warisan Kata yang Menggetarkan

Di antara mutiara terindah yang ditinggalkan para imam mazhab adalah ucapan tawadhu mereka terhadap kebenaran. Imam Abu Hanifah — peletak dasar mazhab fiqh terbesar dalam sejarah Islam — pernah berkata:

"إذا قلتُ قولًا يخالف كتابَ الله تعالى وخبرَ الرسول ﷺ فاتركوا قولي."
“Apabila aku mengatakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Kitab Allah dan sunnah Rasul ﷺ, maka tinggalkan pendapatku.”
(Jāmiʿ Bayān al-ʿIlm wa Faḍlih, 2/32)

Ucapan ini sederhana, tetapi mengandung lautan hikmah. Ia menegaskan: kebenaran mutlak hanya ada pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ, sedangkan pendapat ulama — betapapun agungnya — tetaplah produk ijtihad manusia yang bisa benar atau salah.


2. Cinta yang Salah Arah

Banyak orang mengaku mencintai ulama. Tetapi sering kali cinta itu berubah menjadi fanatisme: membela mati-matian setiap fatwa sang imam, meski sudah jelas ada dalil yang lebih kuat. Inilah cinta yang salah arah.

Ulama tidak pernah meminta pengikutnya untuk menutup mata pada dalil. Bahkan, mereka sendiri yang mengajarkan agar umat berani meninggalkan fatwanya jika bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Maka fanatisme buta bukanlah tanda cinta kepada ulama, justru pengkhianatan terhadap pesan mereka.


3. Cinta yang Benar: Meneladani Kerendahan Hati

Cinta sejati kepada ulama adalah dengan meneladani sikap ilmiah dan kerendahan hati mereka. Imam Abu Hanifah tidak pernah mengklaim kebenaran mutlak. Sebaliknya, beliau membuka ruang bagi generasi setelahnya untuk menimbang ulang, mengoreksi, bahkan meninggalkan pendapatnya jika terbukti lemah.

Inilah pelajaran berharga:

  • Cinta kepada ulama berarti menghargai ijtihad mereka.

  • Cinta kepada ilmu berarti berani mengikuti dalil, meski harus meninggalkan pendapat imam.

  • Cinta kepada kebenaran berarti menempatkan wahyu di atas manusia.


4. Relevansi bagi Kita Hari Ini

Di zaman modern, kemajuan ilmu dan penemuan sains membuka tabir banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang sebelumnya samar. Jika para imam hidup di era ini, tentu mereka akan terus menggali, meneliti, dan memperbarui pandangan mereka dengan semangat ijtihad.

Maka, pertanyaan yang layak kita renungkan adalah: apakah kita siap meneladani semangat keterbukaan mereka, ataukah kita lebih memilih membekukan diri dalam fanatisme sempit atas nama cinta ulama?


5. Penutup: Cinta yang Menghidupkan

Ucapan Imam Abu Hanifah adalah cermin kerendahan hati seorang ulama besar. Dari sana kita belajar bahwa mencintai ulama bukan berarti menuhankan pendapat mereka, tetapi meneladani sikap mereka yang mendahulukan al-Qur’an dan Sunnah di atas segalanya.

🌿 Maka cinta sejati kepada Abu Hanifah — dan para imam lainnya — adalah mengikuti jalan tawadhu mereka dalam mencari kebenaran, bukan fanatisme membela nama mereka.