MAZHAB HANAFI: DINAMIKA, SUMBANGAN, DAN RELEVANSI

Ahli panel: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip Seminar Khazanah Keilmuwan Empat Mazhab Fiqh, Siri 1: Mazhab Hanafi, Tarikh 2023

Mazhab Hanafi tidak lahir dalam ruang hampa; ia tumbuh dari realitas sosial Kufah yang kompleks, lalu berkembang menjadi mazhab terbesar yang pernah menaungi peradaban Islam. Dengan metodologi ijtihad yang rasional dan keluasan pandangan, ia menawarkan dinamika yang membentuk wajah fiqh klasik hingga kontemporer. Namun, pertanyaan yang harus kita ajukan hari ini adalah: apakah kita benar-benar mewarisi keluasan dan keberanian intelektual Imam Abu Hanifah, atau sekadar mewarisi fanatisme mazhab yang justru mengkerdilkan rahmat perbedaan dalam Islam?

🎙️ Pengantar

Mazhab Hanafi sering dianggap jauh dari kita di Nusantara yang terbiasa dengan mazhab Syafi‘i. Bahkan ada yang beranggapan ia tidak relevan, seolah hanya milik dunia Arab atau Asia Tengah. Tapi benarkah begitu? Atau sebenarnya kitalah yang selama ini terjebak dalam horizon fiqh yang sempit?

Imam Abu Hanifah bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah simbol keberanian intelektual dan integritas ulama. Seorang pedagang yang bertransformasi menjadi imam besar, berani menolak tekanan penguasa, membiayai pendidikan murid miskin hingga menjadi hakim agung, dan melahirkan tradisi ijtihad yang luas, rasional, serta berpijak kuat pada syariat.

Sejarah membuktikan, mazhab Hanafi pernah menjadi mazhab terbesar dalam peradaban Islam, diadopsi kekhalifahan besar, tersebar dari Baghdad hingga Asia, bahkan meninggalkan jejak di Nusantara. Maka pertanyaan penting pun muncul: apakah kita masih akan melihat perbedaan mazhab sebagai jurang pemisah, atau mulai menganggapnya sebagai khazanah yang memperkaya umat?

🌿 Mari kita renungkan bersama: Apakah kita akan mewarisi semangat keterbukaan dan keluasan pandangan para imam, atau justru mewarisi fanatisme sempit yang menutup jalan kita pada keluasan rahmat Allah?



1. Latar Belakang Seminar

  • Seminar ini merupakan rangkaian pembahasan empat mazhab utama dalam tradisi fikih Ahlus Sunnah wal-Jamā‘ah.

  • Tujuannya:

    • Memberikan pencerahan kepada masyarakat Malaysia tentang khazanah fikih Islam.

    • Menunjukkan kekayaan pemikiran para imam dan peranan mereka dalam membentuk peradaban hukum Islam.

Meski banyak imam besar lain (seperti al-Thawrī, al-Awzā‘ī, al-Layth ibn Sa‘d, al-Ṭabarī, Ja‘far al-Ṣādiq), tetapi Allah mengangkat empat mazhab ini (Hanafi, Māliki, Syāfi‘i, Hanbali) sebagai yang paling dominan dalam sejarah.


2. Sikap Negeri Perlis terhadap Mazhab

  • Ada anggapan keliru bahwa Perlis “menolak mazhab”.

  • Prof. MAZA menegaskan: Perlis bukan hanya tidak menolak, bahkan mengangkat semua mazhab.

  • Bukti nyata: wujudnya inisiatif untuk mendirikan Museum Empat Mazhab sebagai wadah kajian dan pelestarian warisan fikih.


3. Kedudukan Para Imam Besar

  • Allah memilih dan mengangkat para imam melalui:

    • Kesabaran (ṣabr),

    • Keyakinan (yaqīn).

Dalil:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
(“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, tatkala mereka sabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” – QS. al-Sajdah: 24)

Ibn al-Qayyim menukil dari Ibn Taymiyyah:
بِالصَّبْرِ وَالْيَقِينِ تُنَالُ الْإِمَامَةُ فِي الدِّينِ
(“Dengan kesabaran dan keyakinan, diperoleh kepemimpinan dalam agama.”)


4. Abu Hanifah: Figur Utama Mazhab

  • Nama penuh: al-Nu‘mān ibn Thābit (w. 150 H).

  • Seorang pedagang yang kemudian menjadi fuqahā besar.

  • Beliau tidak mau menerima jabatan qādī (hakim tertinggi), sehingga disiksa dan dicambuk oleh penguasa.

  • Muridnya, al-Qādhī Abū Yūsuf (Ya‘qūb ibn Ibrāhīm), akhirnya menerima jabatan tersebut dan bahkan menjadi Qāḍī al-Quḍāt (Ketua Hakim Tertinggi) pertama dalam sejarah.


5. Kisah Abu Yusuf dan Peranan Gurunya

  • Abū Yūsuf berasal dari keluarga miskin.

  • Ibunya ingin ia belajar menjahit agar bisa membantu ekonomi keluarga.

  • Tetapi Abu Hanifah melihat potensinya, lalu membiayai pendidikan Abu Yusuf dengan uang sendiri.

  • Ramalan Abu Hanifah: “Jika engkau terus belajar, suatu hari engkau akan makan makanan mewah bersama para khalifah.”

  • Benar terjadi: Abu Yusuf menjadi hakim besar di era Hārūn al-Rashīd, dan ungkapan ini menjadi kenyataan.

Dari sinilah muncul kata-kata terkenal:
لَعَمْرِي إِنَّ الْعِلْمَ لَيَرْفَعُ وَيَنْفَعُ دِينًا وَدُنْيَا
(“Demi hidupku, sesungguhnya ilmu itu meninggikan derajat dan memberi manfaat bagi agama dan dunia.”)


6. Faktor Besarnya Mazhab Hanafi

  • Peranan Abu Yusuf yang duduk dalam struktur pemerintahan.

  • Peranan Muhammad ibn al-Hasan al-Shaybānī, penulis karya-karya penting yang menjadi Zāhir al-Riwāyah (rujukan utama mazhab).

    • Di antaranya: al-Mabsūṭ, al-Ziyādāt, al-Jāmi‘ al-Kabīr, al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr.

  • Penyebaran luas: Iraq, Syam, India, Pakistan, hingga Cina.


7. Sikap Abu Hanifah dalam Berbeda Pendapat

  • Beliau dikenal lunak dan beradab meski dituduh kafir/zindik hanya karena fatwanya berbeda.

  • Pernah menyatakan: “Hasan (al-Baṣrī) salah, dan Ibn Mas‘ūd benar.”

    • Tetapi beliau tetap menghormati al-Hasan sebagai ulama besar.

  • Sikap ini mengajarkan: perbedaan pandangan fiqh bukan celaan pribadi.


8. Turning Point Abu Hanifah

  • Awalnya seorang pedagang.

  • Bertemu dengan al-Sya‘bī, seorang ulama besar Kufah, yang menasihatinya agar menekuni ilmu.

  • Sejak itu ia berguru pada Ḥammād ibn Abī Sulaymān selama 18 tahun.

  • Setelah wafat gurunya, Abu Hanifah menggantikan halaqah, lalu menjadi imam besar.

  • Beliau tetap beristighfar untuk gurunya setiap selesai salat, tanda penghormatan luar biasa.


9. Pelajaran dari Kisah Abu Hanifah

  1. Ilmu adalah warisan terbesar.

  2. Adab dalam khilaf harus dijaga.

  3. Murid-murid berperanan penting dalam membesarkan mazhab.

  4. Turning point dalam hidup kadang datang dari nasihat seorang alim.


10. Penutup

  • Seminar ini bertujuan menghidupkan apresiasi terhadap khazanah empat mazhab.

  • Kita perlu mendoakan para imam:
    رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
    (“Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman. Dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” – QS. al-Ḥasyr: 10)

Assalāmuʿalaikum warahmatullāhi wabarakātuh.


📌 Ringkasan Penutup:

  • Abu Hanifah bukan hanya faqih, tapi teladan dalam adab, kesabaran, dan konsistensi.

  • Peranan murid (Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan) memperkuat mazhab Hanafi hingga menjadi terbesar.

  • Ilmu mengangkat martabat agama dan dunia.

  • Perbedaan fiqh harus dilihat sebagai rahmat, bukan bahan celaan.


💖 Cinta Sejati kepada Ulama: Meneladani Kerendahan Hati Imam Abu Hanifah

1. Warisan Kata yang Menggetarkan

Di antara mutiara terindah yang ditinggalkan para imam mazhab adalah ucapan tawadhu mereka terhadap kebenaran. Imam Abu Hanifah — peletak dasar mazhab fiqh terbesar dalam sejarah Islam — pernah berkata:

"إذا قلتُ قولًا يخالف كتابَ الله تعالى وخبرَ الرسول ﷺ فاتركوا قولي."
“Apabila aku mengatakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Kitab Allah dan sunnah Rasul ﷺ, maka tinggalkan pendapatku.”
(Jāmiʿ Bayān al-ʿIlm wa Faḍlih, 2/32)

Ucapan ini sederhana, tetapi mengandung lautan hikmah. Ia menegaskan: kebenaran mutlak hanya ada pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ, sedangkan pendapat ulama — betapapun agungnya — tetaplah produk ijtihad manusia yang bisa benar atau salah.


2. Cinta yang Salah Arah

Banyak orang mengaku mencintai ulama. Tetapi sering kali cinta itu berubah menjadi fanatisme: membela mati-matian setiap fatwa sang imam, meski sudah jelas ada dalil yang lebih kuat. Inilah cinta yang salah arah.

Ulama tidak pernah meminta pengikutnya untuk menutup mata pada dalil. Bahkan, mereka sendiri yang mengajarkan agar umat berani meninggalkan fatwanya jika bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Maka fanatisme buta bukanlah tanda cinta kepada ulama, justru pengkhianatan terhadap pesan mereka.


3. Cinta yang Benar: Meneladani Kerendahan Hati

Cinta sejati kepada ulama adalah dengan meneladani sikap ilmiah dan kerendahan hati mereka. Imam Abu Hanifah tidak pernah mengklaim kebenaran mutlak. Sebaliknya, beliau membuka ruang bagi generasi setelahnya untuk menimbang ulang, mengoreksi, bahkan meninggalkan pendapatnya jika terbukti lemah.

Inilah pelajaran berharga:

  • Cinta kepada ulama berarti menghargai ijtihad mereka.

  • Cinta kepada ilmu berarti berani mengikuti dalil, meski harus meninggalkan pendapat imam.

  • Cinta kepada kebenaran berarti menempatkan wahyu di atas manusia.


4. Relevansi bagi Kita Hari Ini

Di zaman modern, kemajuan ilmu dan penemuan sains membuka tabir banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang sebelumnya samar. Jika para imam hidup di era ini, tentu mereka akan terus menggali, meneliti, dan memperbarui pandangan mereka dengan semangat ijtihad.

Maka, pertanyaan yang layak kita renungkan adalah: apakah kita siap meneladani semangat keterbukaan mereka, ataukah kita lebih memilih membekukan diri dalam fanatisme sempit atas nama cinta ulama?


5. Penutup: Cinta yang Menghidupkan

Ucapan Imam Abu Hanifah adalah cermin kerendahan hati seorang ulama besar. Dari sana kita belajar bahwa mencintai ulama bukan berarti menuhankan pendapat mereka, tetapi meneladani sikap mereka yang mendahulukan al-Qur’an dan Sunnah di atas segalanya.

🌿 Maka cinta sejati kepada Abu Hanifah — dan para imam lainnya — adalah mengikuti jalan tawadhu mereka dalam mencari kebenaran, bukan fanatisme membela nama mereka.