Pengantar
Dalam era media sosial yang gemar mengutip potongan ayat dan hadis untuk “menghukum” lawan, istilah mubahalah sering muncul sebagai senjata retorik — kadang dipakai tepat pada tempatnya, kadang sekadar drama publik. Namun, adakah kita benar-benar memahami apa itu mubahalah, syaratnya, dan batasnya? Lebih jauh lagi, apakah ia boleh dipakai untuk menggantikan proses hukum di mahkamah?
Melalui kupasan yang tajam, Sshahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA membedakan antara mubahalah yang benar-benar bersifat syar‘i dan sumpah emosional yang tidak memberi kesan hukum. Dengan memaparkan dalil Qur’an, riwayat sejarah, dan kaidah fiqh, beliau menegur sikap umat yang terlalu mengikat kesetiaan pada “kelompok” hingga menutup mata dari fakta dan dalil. Ini bukan sekadar ceramah agama; ini adalah peringatan keras agar iman dan akal sehat tidak dikorbankan demi gengsi kelompok.
1. Definisi Mubahalah 📜
Keterangan Prof. Dr. MAZA:
“Mubahalah maksudnya lawan sumpah antara dua pihak yang masing-masing menyebut kelaknatan Allah kepada diri mereka jika mereka berdusta…”
-
Dalil Qur’an: QS. Āli ‘Imrān [3]: 61 – konteks perdebatan Nabi ﷺ dengan Nasrani Najran.
📌 Makna ayat: mengajak kedua pihak membawa keluarga dan memohon laknat Allah pada yang dusta. -
Perbedaan dengan Li‘an:
-
Li‘an: hanya suami istri, tuduhan zina.
-
Mubahalah: dua pihak yang berselisih dalam urusan besar agama.
-
-
Catatan penting: mubahalah tidak berlaku sepihak; jika sumpah sepihak = “hang sumpah sorang-sorang”, bukan mubahalah.
2. Syarat dan Konteks Mubahalah ⚖️
Keterangan Prof. Dr. MAZA:
“…tujuan dia ialah untuk menzahirkan yang benar di dalam perkara-perkara yang penting bagi umat Islam…”
-
Syarat umum (dari kitab fiqh, diringkas beliau):
-
Kedua pihak hadir.
-
Sudah saling menyampaikan hujah & bukti.
-
Perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan dalil biasa.
-
Perkara bersifat agama besar (bukan remeh).
-
-
Contoh sejarah:
-
Ibn Hajar Al-‘Asqalani vs. pendukung Ibn ‘Arabi (As-Sakhawi meriwayatkan — pendukung Ibn ‘Arabi buta mata selepas 2 bulan mubahalah).
-
Syi‘ah mengajak mubahalah: “Abu Bakar kafir atau tidak?”
-
-
Hukum: sunnah jika perlu, tapi bukan amalan harian atau untuk hal remeh.
3. Batasan Hukum Mubahalah 🚫
Keterangan Prof. Dr. MAZA:
“…mubahalah tidak menentukan benar-salah hak manusia… lepas mubahalah tak boleh pergi ambil barang orang…”
-
Tidak berlaku untuk:
-
Sengketa harta.
-
Hak perdata lain.
-
-
Kenapa? Hak manusia ditentukan di mahkamah:
-
al-bayyinah ‘ala man idda‘a → bukti di pihak penuduh.
-
Sumpah di mahkamah adalah prosedur hukum, bukan mubahalah.
-
-
Sumpah di luar mahkamah → bernilai moral saja, tanpa kekuatan hukum.
4. Prinsip Nabi ﷺ dalam Memutuskan Sengketa ⚖️
Dalil Hadis:
“Sebahagian kamu lebih fasih daripada sebahagian yang lain, maka aku putuskan hukum berdasarkan hujahnya…”
“…siapa yang mengambil hak saudaranya dengan hujah, sebenarnya dia ambil potongan dari neraka.”
-
Aplikasi:
-
Hukum = berdasarkan bukti zahir.
-
Tidak boleh menghukum atas dasar perasaan atau loyalitas kelompok.
-
5. Nasihat Umum: Hindari Asabiyah 🚩
Keterangan Prof. Dr. MAZA:
“…siapa yang berperang di bawah bendera kebutaan… marah hanya kerana gengnya… mati jahiliyah.”
-
Definisi asabiyah: membela kelompok tanpa peduli benar/salah.
-
Bentuk asabiyah modern:
-
Fanatik mazhab.
-
Fanatik aliran.
-
Fanatik partai politik.
-
-
Sikap benar:
-
Sokong bila benar, tarik sokongan bila salah.
-
Dasarkan keputusan pada bukti dan dalil, bukan “set kita jangan pecah”.
-
6. Ciri Orang Beriman dalam Berpihak 🌟
-
Siap mengakui kesalahan pilihan sebelumnya.
-
Mencari kebenaran meski berlawanan dengan kelompok sendiri.
-
Mengutamakan hujah di atas perasaan.
Kutipan penutup beliau:
“Sokongan berdasarkan kepada hujah, bukan berdasarkan kepada bok… itu tanda kita beriman.”