} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

Penyeleseian Perselisihan (Mura'ah Al-Khilaf) Dalam Fatwa (2)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN (MURA'AH AL-KHILAF) DALAM FATWA

Berdasarkan konsep keterbukaan ijtihad dan fatwa di kalangan mujtahid sebagaimana telah dibahas di atas, kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini, para ahli hukum harus terbuka dalam menghadapinya. Menurut para ahli fikih mazhab Maliki, adab atau tata cara menghormati perbedaan pendapat (mura'ah al-khilaf) ini adalah menghormati pendapat mujtahid lain yang pandangannya dikeluarkan setelah dilakukan usaha yang sungguh-sungguh (Sayyid Muhammad Musa, tt) .

Kata mura'ah al-khilaf berasal dari dua kata yaitu "al-mura'ah" dan "al-khilaf". Kata al-mura'ah dari segi bahasa adalah memelihara (al-hifzu) dan mentolerir (al-rifq) (Manzur, tt). Sedangkan kata al-khilaf dari segi bahasa berarti tidak ada kesepakatan atau persetujuan, dan perselisihan tentang sesuatu (bin Manzur, tt). Sedangkan pengertian al-khilaf secara istilah adalah tidak adanya kesepakatan pendapat di antara orang-orang yang berilmu tentang suatu persoalan yang setiap orang menganut pandangannya masing-masing (Shaqrun, 2002).

Sedangkan kata mura'ah al-khilaf dari segi terminologi memiliki beberapa pengertian dan implementasi. Al-Risa' (1993) mendefinisikannya sebagai mendahulukan dalil dan pendapat mujtahid lain di atas dalil dan pendapatnya. Hal ini didasarkan bahwa suatu sudut pandang yang dikemukakan juga dipengaruhi oleh kekuatan argumentasi yang dianut, relevansinya dengan isu dan juga ketepatannya dengan situasi terkini. Maka dalam hal ini, pandangan para mujtahid lain perlu diperhatikan. Ibnu Abd al-Salam mendefinisikannya sebagai memberikan dalil hukum masing-masing dan mengutamakan pendapat yang bertentangan (al-Manjur, tt). Sedangkan menurut Ibnu 'Urfah, ia mengamalkan dalil berdasarkan dalil yang ia amalkan dan dalam keadaan lain, menggunakan dalil lain (al-Risa', 1993; al-Laqqani, 1992; al-Tusuli, 1998; Ahmad bin Yahya, 1995). Posisi menghormati perbedaan ini disebabkan karena pendapat atau fatwa mujtahid yang berbeda ternyata lebih kuat dari segi dalil dan maslahah.

Selanjutnya, al-Syatibi (1997) menjelaskan mura'ah al-khilaf sebagai keadaan di mana sebelum khilaf terjadi, seorang mujtahid berpegang teguh pada pendapatnya. Setelah melakukan kesalahan ternyata pendapatnya terlalu lemah (marjuh) untuk terus dipegang, sehingga perlu untuk menghormati pendapat lain guna menghilangkan mudharatnya. Maka dalam hal ini perlu mengedepankan dalil yang berlawanan untuk menghindari hal-hal yang merugikan (al-Syatibi, 1997; al-Ansari, 2010).

Menurut al-Fahri (2001), metode mura'ah al-khilaf menurut al-Syatibi adalah mengubah pandangan yang “tidak tepat” ketika terjadi perbedaan pendapat untuk mencapai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Dengan kata lain, mengamalkan dalil berdasarkan amalan dalil dan mengamalkan apa yang dipraktekkan dengan dalil lain karena faktor dampak (maqasid syari'ah) (al-Fahri, 2001; Jaddiyyah, 2010). Dijelaskannya, seorang mujtahid diperbolehkan keluar dari kepompong madzhab dan pendapatnya dengan tetap berpegang pada pendapat lain yang dirasa lebih tepat (rajih) berdasarkan dalil-dalil yang dibicarakan (Jaddiyyah, 2010).

Penerapan mura'ah al-khilaf dapat mempersatukan umat Islam melalui penghormatan terhadap pandangan mujtahid lain, sehingga menjembatani kesenjangan antar mazhab, mempersempit perbedaan (khilaf) dan menghilangkan kesulitan bagi umat Islam. Menurut al-Nadwi (2009), cara ini sangat penting karena efeknya dapat menimbulkan rasa kehati-hatian dalam beragama, menumbuhkan rasa cinta dan mendatangkan kerakusan maslahah. Mengomentari hal ini, Ibnu Mas'ud menyatakan bahwa perselisihan adalah sesuatu yang buruk.

Konsep mura'ah al-khilaf seperti istihsan dimana seorang mujtahid lebih mengutamakan dalil dari mujtahid lain (khafi) di atas pendapatnya sendiri (jalli) karena lebih dekat dengan tujuan syar'ah. Prinsip mura'ah al-khilaf juga sejalan dengan sadd al-dhara'i' untuk menghindari unsur-unsur yang dapat menimbulkan kerusakan (al-Qurtubi, tt). Al-Syatibi merasionalkannya sebagai metode mencapai maslahah (kebaikan) dan menghilangkan mafsadah (kerusakan) (al-Syatibi, 1997). Penilaian yang lebih bermanfaat (al-aslah) ini sesuai dengan ukuran efek suatu peristiwa baik dengan harapan akan mengundang manfaat atau menolak bahaya (Muhammad al-Amin, 2002).

Posisi ini sejalan dengan teori ma'alat al-af'al, yaitu melihat akhir suatu perbuatan atau perbuatan apakah sesuai dengan tujuan syar'ah atau tidak (al-Syatibi, 1997; Asni, 2020). Menurut Walid bin 'Ali al-Husain, ma'alat al-af'al adalah menghitung apakah hukum yang diputuskan itu sesuai dengan keinginan syariat, dan sesuai dengan tujuan amalan yang disyariatkan. (Walid, 2009; al-Ayubi, 2011). Dijelaskannya bahwa metode mura'ah al-khilaf tidak hanya melihat dalil-dalil yang dimaksud, tetapi juga melihat efek yang sejajar dengan maqasid syari'ah (Shaqrun, 2002). Pelaksanaan metode istinbat ini secara tidak langsung akan mengarah pada talfiq dimana seorang mujtahid melakukan ijtihad tarjihi dengan memilih pandangan yang lebih tepat (arjah). Dalam hal ini, mujtahid tidak hanya mengambil pendapat dari pandangan mazhabnya,

Dalam menghormati perbedaan pendapat tersebut dan memilih pandangan yang lebih tepat, mujtahid tidak hanya mengetahui maqasid syariat, tetapi juga memahami maqasid ini dari perspektif posisi dan realitas hukum (waqi') saat ini, serta pemahaman prioritas (al-aulawiyyat) yang akan dilaksanakan pada saat itu. Mujtahid dalam menetapkan masalah berdasarkan kesesuaian saat ini, membedakan yang utama dari yang utama lainnya, serta mampu memberikan penilaian yang akurat melalui fikih arbitrase (al-muwazanat) (al-Qaradawi, 1996). Dengan demikian, tujuan tersebut tidak akan tercapai selama mujtahid tidak melihat adanya kesamaan hukum dan hikmah 'illah. Oleh karena itu, al-Juwaini (1997) menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memahami tujuan syari'ah tentang perintah dan larangan, maka dia tidak berhak menentukan hukum syari'ah.

Oleh karena itu, pemahaman fiqh al-waqi' dapat membantu para mujtahid dalam menghormati perbedaan pendapat dengan asumsi bahwa beberapa hukum akan berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat dan kebiasaan ('urf). Perubahan zaman akan menyebabkan perubahan kebutuhan dan prioritas manusia sehingga dapat mengubah kepentingan (daruriyyah), kebutuhan (hajiyyah) dan keindahan (tahsiniyyah) (Zaidan, 2003). Namun kelonggaran ini tidak sampai sesuatu yang 'urf bertentangan dengan nas syarak (al-Ghazali, 1997). Itu harus merupakan 'urf yang valid diakui oleh syaraq (Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah, 1968; Nadwi, 2009; al-Zarqa', 1995).

Bersambung di sini

Sumber (berbahasa Melayu) : https://khazanahfiqh.blogspot.com/2023/01/peranan-kaedah-muraah-al-khilaf.html

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING