} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

KAEDAH MURA‘AH AL-KHILAF DAN PENYERAGAMAN FATWA

Sejarah menunjukkan bahwa fanatisme madzhab membawa kerugian. Misalnya pada tahun 326 H terjadi perang antara pengikut mazhab Syafi'i, Maliki dan Hanafi di Masjid Al-Jami' al-'Atiq di Mesir yang menelan banyak korban jiwa (al-Dusuqi, tt). Hal yang sama terjadi di Asfahan, Bagdad pada tahun 414 H, 422 H, 447 H dan 1382 H dimana terjadi perkelahian karena perbedaan masalah mazhab dan fiqih yang dianut masing-masing (al-Humawi, tt; Kathir, 1988; Majallah Risalah al-Islam, tt). Dia menjelaskan bahwa perbedaan dan ekstrimitas sektarianisme dapat menyebabkan kerugian bagi Islam dan pengikutnya.

Oleh karena itu, perlunya penyatuan pandangan dan pembakuannya di kalangan ummat merupakan sesuatu yang sangat penting. Secara tidak langsung, penyatuan dan pembakuan fatwa dapat menghindarkan sikap ekstrim, menciptakan persatuan dan stabilitas, bahkan memastikan hukum dapat dilaksanakan secara konsisten dan adil. Dari segi sejarah, upaya untuk menyatukan dan menghormati perbedaan pendapat ini telah dilakukan oleh banyak pihak mulai dari masa para sahabat, seperti Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa khilaf itu buruk sehingga mengikuti ijtihad Usman. (Khalifah saat itu) dan meninggalkan ijtihadnya (HR. Abu Dawud, hadits, no. 1960).

Begitu pula dengan Umar al-Khattab yang menyatakan bahwa dirinya merasa malu kepada Allah jika berbeda pandangan dengan Abu Bakar, dan dalam hal itu Umar lebih mengutamakan pandangan Abu Bakar (al-Qayyim, 1973). Menurut al-Sya'bi, mufti sahabat sangat mengagungkan pandangan para sahabat yang sezaman dengannya seperti Abdullah bin Mas'ud mengagungkan pendapat Umar bin al-Khattab, Abu Musa mengagungkan pendapat Ali dan Zaid memuji pendapat Ubay bin Ka'ab padahal mereka semua memiliki pandangan yang unik." (al-Syaukani, 1396H)

Semangat yang sama berlaku pada zaman tabi'in dan tabi' tabi'in hingga pandangan-pandangan para fuqaha' yang paling otoritatif pada zaman tertentu dirayakan untuk menghindari kesalahan. Karena itu pada masa Abbasiyah, Sekretaris Negara, Abd Allah Ibn al-Muqaffa, menyarankan kepada Khalifah Abu Ja'far al-Mansur agar kitab al-Muwatta' yang ditulis oleh Malik menjadi pandangan utama Pemerintah dan pemerintahannya. ijtihad disusun menjadi suatu kitab undang-undang yang seragam. Namun usulan ini tidak diterima oleh Malik (al-Anbari, 1987; Jasni Sulong, 2014; Muhamid, 2001). Hal ini pula yang diinginkan oleh Khalifah al-Mahdi dan Khalifah al-Rashid untuk menjadikan mazhab Maliki sebagai rujukan resmi (Musa, 1983; al-Zahabi, 1985; al-Asbahani, 1996).

Selain itu, pemerintah Bani Abbasiyah memerintahkan al-Mawardi untuk menulis kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah untuk dijadikan referensi resmi (al-Mawardi, 1986; al-Muhamid, 2001). Dalam upaya mewujudkan kesatuan fikih, pemerintahan Khadive Muhammad Ali Pasha yang memerintah Kesultanan Utsmaniyah pernah mengeluarkan perintah bahwa hanya kadis atau mufti dari mazhab Hanafi yang boleh mengeluarkan fatwa atau keputusan hukum dalam perkara yang berkaitan dengan hukum Islam. Jasni Sulong , 2014).

Upaya untuk membakukan dan membuat hanya satu pandangan fatwa untuk dipraktikkan di suatu negara tidak berhenti sampai di situ. Dalam kaitan ini, para ahli hukum dan pengurus juga harus memahami metode istinbat hukum syariah yang tepat dan seragam sehingga hasil ijtihad akan bermuara pada keputusan yang sama. Oleh karena itu, 'Abd al-Rahman bin Mahdi pernah menyarankan kepada al-Syafi'i untuk menulis sebuah buku yang menjelaskan metodologi pembuatan fikih berdasarkan dalil-dalil syaraq, yaitu Al-Qur'an dan hadits, serta penggunaan dalil-dalil yang bersifat syaraq. qat'i, zanni, nasikh dan pencabutan. Tulisan ini bertujuan untuk menggariskan keseragaman prosedur dalam acuan hukum syariah dimana hasil hukum yang akan dicapai akan seragam dan konsisten (Jasni Sulong, 2014). Di samping itu,

Dari sudut pandang syariah, diperlukan penyatuan pendapat fikih. Ini adalah pendapat dari 'Abd al-'Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Ali al-Syeikh, Soleh bin Ghasin, Rashid bin Khunain (al-Muhamid, 2001), Muhammad Mustafa al-Muraghi (2011), Abu Zahrah (al-Muhamid , 2001 ), Ali al-Khafif (al-Muhamid, 2001), Muhammad Makhluf (al-Muhamid, 2001), 'Abd al-Wahhab Hafiz (al-Muhamid, 2001), Muhammad Zaki 'Abd al-Barr (al- Muhammad bin al-Hasan al -Hajawi al-Tha'alabi (2012) dan Abu al-A'la al-Maududi (al-Muhamid, 2001).

Mereka mendukung pendapat ini dengan dalil maslahah dimana dapat memudahkan para qadi dan masyarakat muslim untuk mengetahui hukum Islam (al-Barr 1986), mengurangi kesalahan dalam menilai (al-'Atar, 1993), mempersatukan bangsa fatwa dengan mengambil hukum yang paling rajih serta menghindari kerugian akibat perselisihan (al-'Atar, 1993). Penggunaan dalil maslahah sudah benar karena tidak ada dalil larangan (mulghah) atau penetapannya (mu'tabarah), bahkan sangat bermanfaat diterapkan dalam al-siyasah al-syar'iyyah dimana pengurus telah menetapkan hakam hukum yang memudahkan urusan masyarakat dan wajib (al-Muhammad, 2001). Penetapan keputusan fatwa yang seragam merupakan salah satu kewenangan pemerintah berdasarkan asas siyasah al-syar'iyyah. Jika seorang pemimpin telah menetapkan suatu hukum, maka wajib mengamalkan dan mentaati hukum itu. Ketaatan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan Ulil-Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (An-Nisa': 59)

Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan ketaatan kepada wali al-amr baik itu berdasarkan para penguasa maupun para ulama. Dengan demikian, para ahli hukum menetapkan hukum untuk dijadikan undang-undang, sedangkan penguasa menegakkan hukum dan harus dipatuhi (al-Muhamid, 2001). Selain itu juga didukung oleh firman Allah SWT yang artinya: "...bertemulah dengan mereka dalam hal itu (Ali-Imran: 159)." Hal ini karena dengan adanya pertemuan maka akan terhindar dari perselisihan yang dapat dicegah dan mufakat dapat dicapai (al-Muhamid, 2001).

Hal ini juga ditetapkan oleh Sunnah Nabi SAW tentang keputusan untuk mematuhi pemimpin sebagaimana sabda Rasulullah SAW; "Dengarkan dan patuhi meskipun yang memerintahkanmu adalah hamba Abyssinian" (al-Bukhari, no. Hadits: 7142). Dalam hal ini, jika ada kesalahan maka wajib bagi fuqaha lain di negeri itu (mura'ah al-khilaf) untuk mengikuti fatwa resmi yang telah diputuskan meskipun itu salah dengan ijtihadnya ('Abidin, 1386H). ). Paling tidak, sikap menghormati pandangan dalam fatwa resmi ini akan melahirkan keseragaman pelaksanaan hukum, yang kemudian dapat menciptakan suasana adil yang menjadi tujuan Syarak sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyerahkan segala macam amanah kepada anggotanya (yang berhak menerimanya), dan ketika kamu menegakkan hukum di antara manusia, (Allah memerintahkan) kamu menghukum dengan adil.” (An-Nisa': 58)

Dijelaskannya, apapun wasilah yang dapat membawa kepada keadilan dan kesatuan pandangan wajib dilaksanakan sebagaimana metode fikih mengatakan, “sesuatu yang wajib belum tentu sempurna tanpanya, maka wajib pula” (al-Subki, 1991 ).

Meskipun demikian, fatwa resmi pemerintah juga tidak boleh segan-segan mengambil pandangan paling rajih yang didasarkan pada dalil, maslahah dan maqashid al-syariah sehingga menjadi kuat dan kokoh. Hal ini untuk memastikan agar perbedaan pendapat di antara para ahli hukum tidak menjadi jurang yang lebar dan merupakan pandangan yang diterima oleh sebagian besar ahli hukum saat ini (al-Zuhaili, 2005). Oleh karena itu, pembakuan pandangan ini dapat dilakukan dalam situasi yang lebih damai (rekonsiliasi) dan lebih menjamin bahwa proses penegakan dan penyelenggaraan hukum Islam dapat dilakukan secara adil (el-Muhammady, 1992).

Secara tidak langsung, kekakuan suatu mazhab tidak begitu membatasi anggota ijtihadnya sehingga mereduksi dominasi taqlid dan sikap ekstrim terhadap fatwa mazhab masing-masing saja (al-Qaradawi, 2004). Oleh karena itu, semangat keterbukaan dan pendekatan reformisme untuk membatasi ikatan taqlid yang berlebihan khususnya dalam metodologi mengeluarkan fatwa harus dimiliki oleh para mujtahid saat ini guna menghasilkan fatwa yang seragam, seimbang dan adil untuk diberlakukan pada masyarakat dan negara. Naemah, 2003).

https://khazanahfiqh.blogspot.com/2023/01/peranan-kaedah-muraah-al-khilaf.html

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING