FORUM JAWATAN KUASA FATWA
Urgensi Pemberdayaan Lembaga Fatwa dengan Meng'itiraf Madzhab-Madzhab Fiqh Sebagai Kekayaan Intelektual Islam & Menghilangkan Fanatik Madzhab
Sesi Pembentangan Oleh :
SS. Prof. Madya Dato DR. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Malaysia
Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Malaysia
Boleh jadi suatu fatwa dalam perkara kontemporer atau yang baru muncul
(nawazil dan hawadits) itu tidak sama antara satu tempat dengan tempat yang
lain atau satu zaman dengan zaman yang lain.
Al Qarafi –rahimahullah- berkata:
“Apa saja yang baru dari sebuah ‘urf (adat dan kebiasaan), maka
jadikanlah sebagai bahan pertimbangan, dan apa yang sudah usang maka
tinggalkanlah, dan janganlah anda terpaku dengan apa yang ada di dalam
buku-buku saja sepanjang hidup anda, bahkan jika ada seseorang yang datang
kepada anda dari daerah lain meminta fatwa, maka janganlah anda menjawab
dengan pertimbangan ‘urf yang ada di negara anda, tanyakan dulu kepadanya
tentang ‘urf yang ada di daerahnya, maka jawaban anda pun harus
mempertimbangkan ‘urf di daerah tersebut. Jadi fatwa anda didasari dengan
pertimbangan ‘urf daerah tersebut meskipun tidak ada di dalam literatur
anda, inilah kebenaran yang nyata. Terpaku hanya kepada literatur saja
adalah kesesatan dalam agama, dan tidak memahami tujuan dari para ulama
kaum muslimin dan generasi terdahulu. Atas dasar kaidah inilah dibahas
tentang akad perceraian, memerdekakan hamba sahaya, dan semua transaksi
yang jelas maupun yang kinayah (kiasan), akad yang jelas bisa jadi kinayah
maka membutuhkan niat, dan yang kinayah jika sudah jelas maka tidak
diperlukan lagi niat”. (Al Furuq: 1/321)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- telah memuji fiqh yang detail ini setelah
menukil perndapat di atas dengan berkata:
“Inilah inti dari fiqh, dan barang siapa yang berfatwa hanya berdasarkan
dengan apa yang tertera di dalam literatur buku-buku tanpa pertimbangan
‘urf, kebiasaan, waktu, keadaan dan qarinah (pelengkap), maka ia telah
sesat dan menyesatkan, dan kesalahannya terhadap agama lebih berat dari
pada seorang dokter yang mengobati banyak orang dari berbagai daerah, yang
berbeda kebiasaan, waktu dan tabiat mereka, dengan berdasarkan pada satu
buku dari banyak buku-buku kedokteran. Maka dokter seperti ini adalah
dokter yang bodoh, demikian juga seorang mufti justru akan lebih bahaya
lagi karena menyangkut masalah agama. Dan hanya Allahlah Dzat Yang Maha
Penolong”. (I’lam Muwaqqi’in: 3/78)
Wallahu a’lam.