} h3.post-title { text-align: center; } .post-title {text-align:center;} -->

Islam, Antara Hakikat dan Hiasan (Pencitraan)

ISLAM, ANTARA HAKIKAT DAN HIASAN (PENCITRAAN)

Dato Prof. Dr. Mohd Asri bin Zainul Abidin
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

Apakah jenis Islam yang kita inginkan atau anggap penting? Apakah itu Islam yang hakiki, yang berakar pada inti atau tujuan syariat Islam yang diturunkan oleh Allah? Ataukah itu Islam yang hanya sebatas hiasan, yang terlihat dari luarnya atau hanya penyesuaian kosmetik, padahal esensinya tidak memenuhi tujuan sebenarnya dari Islam itu sendiri?

Dahulu Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali (w. 505H) menulis kitabnya yang terkenal "Ihya ‘Ulum al-Din" untuk mengatasi penghayatan Islam yang kehilangan roh sejati. Tujuannya adalah untuk mengatasi pembahasan hukum yang kering tanpa esensi kerohanian dalam menjalankan ibadah. Al-Imam Abu Ishaq Al-Syatibi (w. 790) telah menulis "al-Muwafaqat" untuk membahas Maqashid al-Syariah (Tujuan dan maksud-maksud Tinggi Hukum Islam) untuk menjelaskan tujuan utama di balik syariah yang kita lihat dan amalkan.

Dalam buku "Radical Reform," seorang penulis Muslim di Barat, yaitu Prof. Tariq Ramadan menolak apa yang disebut sebagai "Islamic economy," "Islamic politics," "Islamic medicine," dan sejenisnya. Beliau menolak istilah-istilah tersebut dan menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang disebut sebagai "Islamic economy," melainkan hanya pedoman umum dan falsafah untuk tujuan ekonomi yang ditetapkan oleh Islam. Bagi beliau, tidak ada yang disebut sebagai "Islamic economy," tetapi yang ada adalah etika Islam dalam ekonomi. Beliau berkata, "There is no Islamic economy, therefore, but an Islamic ethics of the economy."


HIASAN

Mungkin hal ini berkaitan dengan terminologi, tetapi yang ingin ditekankan di sini adalah apakah manfaatnya menggunakan nama "Islam" untuk ekonomi, politik, perubatan, dan sejenisnya, padahal itu hanya sekadar hiasan luaran dan bukan inti dari tujuan yang ingin dicapai oleh syariat Islam itu sendiri. Jika kita menyebutnya sebagai perbankan Islam, tetapi unsur penindasannya tetap sama seperti yang tidak menyandang label "Islam," maka hanya istilah Arab dan aspek syariah yang dipentingkan, lalu apa artinya semua itu? Allah tidak memerlukan harta kita, yang diinginkan-Nya adalah agar kita tidak zalim dan tidak menindas sesama manusia.

Pakaian, istilah, hiasan, corak, dan bahasa yang diasosiasikan dengan Islam tidak memiliki makna jika tidak memenuhi tujuan asli atau tujuan dari syariat Islam dalam hal yang berkaitan. Saya memberikan contoh di sini: sebuah kedai makan yang bersih dan makanannya aman tanpa menonjolkan tanda-tanda agama secara luar lebih mendekati tuntutan Islam daripada sebuah kedai makan yang pemiliknya berkopiah dan di dindingnya tergantung ayat-ayat al-Quran, tetapi tempatnya kotor dan kualitas makanannya rendah.

Bagi seorang pedagang makanan, menyediakan makanan yang bersih dan aman adalah suatu kewajiban. Itulah esensi dari tanggung jawab seorang pedagang makanan. Sementara itu, memakai kopiah dan menggantung ayat al-Quran di dinding bukanlah suatu tuntutan. Itu adalah pilihan pribadi. Bahkan, kadang-kadang hal tersebut bisa menjadi cara untuk melakukan penipuan jika niatnya tidak jujur.

Sabda Nabi:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ.

"Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim. Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menjual kepada saudaranya suatu barang yang memiliki cacat, kecuali jika dia mengatakannya secara jelas kepadanya." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, dan lainnya. Al-Hakim menyatakan bahwa hadis ini sahih dan disetujui oleh al-Zahabi).

Pesan dari sabda Nabi ini adalah bahwa sesama Muslim dianggap sebagai saudara, dan seorang Muslim dilarang secara hukum menjual barang yang memiliki cacat atau kekurangan kepada sesama Muslim tanpa memberitahukannya secara jelas. Hal ini menekankan pentingnya kejujuran dalam berbisnis dan berinteraksi dengan sesama Muslim, dan menegaskan bahwa kita harus selalu bersikap adil dan jujur dalam semua transaksi dan interaksi dengan sesama Muslim maupun dengan orang lain.


PENIPUAN

Ketika kita membaca hadis Nabi S.A.W yang menyatakan:

إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ

"Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan di Hari Kiamat sebagai orang-orang jahat, kecuali mereka yang bertaqwa, berbuat kebaikan, dan jujur." (Riwayat al-Tirmizi, al-Hakim dalam al-Mustadrak, dll. Al-Hakim menyatakan bahwa sanadnya sahih dan mendapat persetujuan dari al-Zahabi)

Kita tahu bahwa pedagang yang jahat adalah mereka yang menipu pelanggan. Dalam konteks kedai makan, penipuan berarti menyajikan makanan yang kotor dan tidak aman. Tidak dikatakan bahwa seseorang merupakan penipu hanya karena tidak memakai kopiah atau tidak menghiasi kedainya dengan ayat-ayat al-Quran.

Memakai kopiah dan menggantungkan ayat-ayat al-Quran adalah hak pedagang atas premisnya. Namun, jika semua itu dilakukan untuk menarik pelanggan agar merasa kedai makan mengikuti ajaran Islam, padahal kenyataannya tidak demikian, maka itu dianggap sebagai penipuan.

Lebih baik bagi pedagang untuk tidak meletakkan ayat-ayat Tuhan di dinding jika itu hanya akan mengelirukan pelanggan. Hal ini seakan-akan menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Meskipun mungkin bagi Muslim mereka dapat membedakan antara perilaku seseorang yang tidak mengikuti ajaran Islam dengan kesucian ayat-ayat yang digantung, namun bagi non-Muslim mungkin mereka akan salah sangka tentang Islam.

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, disebutkan 

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةٍ مِنْ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ ‏"‏يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ مَا هَذَا‏؟"‏.‏ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ‏.‏ قَالَ ‏"‏أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ حَتَّى يَرَاهُ النَّاسُ؟‏"‏‏.‏ ثُمَّ قَالَ ‏"‏مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا

Bahwa Rasulullah S.A.W melintasi sebuah tempat penjualan makanan dan memasukkan tangannya ke dalamnya. Jari-jari beliau terkena makanan yang basah. Baginda bertanya kepada pemiliknya: "Apakah ini, wahai pemilik makanan?". Pemiliknya menjawab: "Terkena hujan, wahai Rasulullah!". Lalu Rasulullah bersabda: "Mengapa kamu tidak meletakkan bagian yang basah di atas makanan supaya orang bisa melihatnya?! Barangsiapa yang menipu, maka dia bukanlah dari golonganku." (Riwayat Muslim).


INTI

Demikian juga, Islam tidak pernah menetapkan jenis masakan tertentu sebagai lebih disukai Allah daripada yang lain. Pilihan masakan Arab tidak membuat seseorang menjadi lebih saleh daripada orang yang menyukai masakan Melayu atau Barat. Apa yang ditekankan oleh Allah dalam Al-Quran adalah:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُواۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴿٣١﴾

"Dan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (Surah Al-A'raf, ayat 31).

Berpindah ke urusan administrasi atau tatakelola, apa tujuan dari administrasi dalam Islam? Islam tidak memberikan penjelasan rinci tentang bentuk wajah politik Islam, tetapi hanya memberikan garis panduan umum. Pentadbiran dan politik dalam Islam, apakah ingin disebut sebagai "etika Islam dalam politik" atau "politik Islamik," itu terserah. Namun, tujuan Islam dalam politik adalah kemaslahatan negara secara keseluruhan. Bukan hanya kemaslahatan pemimpin atau partai tertentu, tetapi kemaslahatan umum untuk semua rakyat. Administrasi dalam Islam didasarkan pada konsep al-Quwwah dan al-Amanah, atau efisiensi dan akuntabilitas. Jika seseorang dapat mencapai administrasi yang jujur dan efisien sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang dikehendaki, maka dia telah mencapai tujuan dan maksud dari administrasi politik dalam Islam.

Firman Allah:

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ 

"Maksudnya: 'Salah satu dari keduanya berkata, 'Wahai ayahku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu pekerjakan adalah yang kuat dan amanah.'" (Surah Al-Qasas: 26).

Bagaimana bentuk dan pendekatan pemerintahan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kejujuran dan efisiensi, Islam tidak menetapkannya secara khusus. Selama pemerintahan itu adil, tidak zalim, dan sesuai dengan prinsip-prinsip umum Islam, maka berbagai pendekatan dan cara dapat diambil.

Islam tidak pernah menetapkan bahwa pemimpin harus bergelar mullah, ustaz, atau ulama. Tidak pula disyaratkan untuk mengenakan jubah dan kopiah. Tidak ada aturan bahwa nama-nama tempat seperti negeri, kampung, atau pejabat harus diganti dengan istilah-istilah Arab. Jika seorang ulama dianggap mampu membawa transparansi dan efisiensi dalam administrasi, maka dia dapat dilantik. Namun, jika ada orang lain yang lebih mampu, maka dia yang akan dipilih. Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam Al-Quran:

 إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِۚ إِنَّ اللَّـهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۗ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا  

"Allah sesungguhnya menyuruh kamu untuk memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu berhakim di antara manusia, hendaklah kamu berhakim dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu." (Surah An-Nisa' ayat 58).

Dalam semangat tinggi rakyat kita untuk kembali kepada Islam, mereka harus dapat membedakan antara hakikat dan hiasan. Hiasan tidaklah tidak penting, namun hiasan harus mencerminkan hakikat. Jika hiasan tidak mencerminkan hakikat, maka itu merupakan penipuan dan tidaklah menjadi tujuan asli dari Islam yang dikehendaki oleh Tuhan.


  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING